JAKARTA, (tubasmedia.com) – Derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang menimbulkan disrupsi dalam berbagai bidang membawa tantangan tersendiri bagi masyarakat, budaya, dan pemerintahan. Tantangan tersebut bisa menjadi ancaman terhadap rasa kebangsaan dalam suatu negara yang majemuk.
Adanya ekses dari globalisasi, atau kemajuan pembangunan ekonomi, yang manfaatnya tidak dirasakan oleh kelompok-kelompok masyarakat dan individu tertentu, sehingga merasa termarjinalkan. Mereka kemudian mencoba mengaktualisasikan eksistensinya dengan antara lain membuat aktivitas maupun ekspose yang menonjolkan hal-hal yang eksklusif, seperti misalnya karakteristik lokal dan identitas yang dimiliki, yang dilakukan secara berlebihan dan tidak memperhatikan lagi adanya pluralitas dan sikap inklusif yang perlu dijaga.
Hal ini tentunya sangat berpotensi melemahkan persatuan dan kesatuan nasional bagi bangsa yang majemuk seperti negeri yang kita cintai ini. Pandangan Wapres Ma’ruf Amin itu disampaikan secara virtual pada Kongres ke-6 Ikatan Alumni Universitas Kristen Indonesia (IKA UKI) Tahun 2021, pada Sabtu, 27 Februari 2021. Ia mengajak masyarakat Indonesia bersyukur apa pun latar belakang suku dan agamanya, karena para pendiri bangsa Indonesia yang memiliki beragam latar belakang budaya, bahasa, dan agama mendirikan NKRI atas dasar kesepakatan-kesepakatan dasar yang kokoh.
“Para pendiri bangsa kita menuangkan kesepakatan-kesepakatan tersebut sebagai kerangka dasar dari bangunan kebangsaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia di dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan juga Bhineka Tunggal Ika,” kata Ma’ruf Amin.
Oleh karena itu sebagai generasi penerus, lanjut Ma’ruf Amin, semua wajib memahami dan menjaga kesepakatan-kesepakatan dasar yang empat tadi. Caranya tentu tidak cukup hanya dengan menghafal atau mencatatnya sebagai rujukan saja, tetapi dengan mengaplikasikannya dalam berbagai aspek kebijakan maupun sikap dan perilaku bermasyarakat dan bernegara.
Indonesia diberkati memiliki keberagaman yang menjadi suatu khazanah kekayaan budaya sekaligus sebagai pilar utama kekuatan bangsa. Ini menjadi keunggulan bangsa kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
“Indonesia merupakan negara yang sering dijadikan contoh bagaimana kerukunan nasional itu dibangun dan dikembangkan. Dalam kaitan itulah saya ingin menyampaikan pentingnya menjaga kesepakatan yang merupakan dasar kebangsaan dan kenegaraan kita, yang sering saya sebut sebagai empat bingkai kerukunan nasional,” tutur Ma’ruf Amin.
Pertama adalah bingkai politis, yaitu komitmen seluruh bangsa Indonesia dalam implementasi kehidupan masyarakat terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Tidak hanya dalam bentuk kesepakatan politik, tapi juga di dalam implementasinya.
Kedua yakni bingkai yuridis, kepatuhan terhadap aturan yang ada, untuk menjaga kerukunan nasional dan menghormati hukum karena setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Dan aturan-aturan hukum juga merupakan bagian dari pada kesepakatan nasional kita.
“Ketiga adalah bingkai sosiologis, yaitu kearifan nilai-nilai budaya lokal telah turun-temurun manjadi perekat kebersamaan kita seperti budaya gotong royong, dalian natolu (Batak), tepo seliro (Jawa), pela gandong (Ambon), rumabetang (Dayak), dan lain sebagainya, itu perlu terus kita lestarikan.
Banyak hal-hal yang memang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yuridis, tapi justru bisa diselesaikan melalui pendekatan sosiologis dengan menggunakan local wisdom yaitu kearifan lokal. Ini sering kita lihat di berbagai daerah itu juga harus kita jaga dan kita perkuat,” tutur Ma’ruf Amin.
Yang keempat adalah bingkai teologis, yaitu pemahaman dan pengajaran keagamaan atau keyakinan yang moderat, santun, sejuk dan merangkul. Bukan ajaran yang saling curiga dan mengarah pada konflik atau bahkan pada penggunaan kekerasan.
Dalam menyampaikan ajarannya setiap agama hendaklah menggunakan narasi-narasi kerukunan, bukan narasi konflik yang dapat menimbulkan perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan bukan juga narasi kebencian antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
“Politik kebangsaan dalam ketatanegaraan Indonesia, harus didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan nasional tadi dan dilaksanakan dalam empat bingkai kerukunan yang saya sebutkan di atas,” sambung Ma’ruf Amin.
“Saya yakin dengan dasar pemahaman sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, politik kebangsaan dalam sistem kenegaraan yang kita jalankan akan membimbing kita semua menuju Indonesia Hebat. Karena sejarah perjuangan bangsa kita telah membuktikan bahwa hanya dengan menjaga dan menghormati kesepakatan nasional, kita akan mampu menjaga keutuhan bangsa. Pemerintah dan seluruh elemen bangsa harus bersama-sama bekerja di dalam menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa,” tandas Ma’ruf Amin.
Fenomena maraknya ujaran kebencian di masyarakat, terutama di media sosial telah memicu terjadinya konflik antar kelompok atau golongan. “Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar. Pro dan kontra dalam suatu masalah adalah keniscayaan. Sampaikan kritik dengan cara-cara yang baik dan santun, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir dan juga memicu konflik. Hal inilah yang saya maksudkan dengan politik kebangsaan, politik yang berdasar kepada kerukunan dan keutuhan bangsa,” demikian penjelasan Wapres.
Para alumni pendidikan tinggi, termasuk IKA UKI, diharapkan mampu memunculkan ide-ide dan strategi pengembangan SDM unggul sebagai modalitas dan peluang bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan global serta mewujudkan manusia Indonesia yang Pancasilais dan mampu menjadi penangkal terhadap berbagai ancaman yang dapat menghambat pembangunan nasional serta langkah bersama kita menuju Indonesia Maju.
Di akhir sambutannya, Wapres berharap melalui forum Kongres IKA UKI ini, dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air dan menumbuhkan politik kebangsaan yang benar. (sabar)