Oleh: Fauzi Aziz
SISTEM ekonomi Indonesia sangat liberal. Demikian kata pengamat ekonomi. Dalam posisi Indonesia memiliki keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia, pada zaman globalisasi ini, peran kapitalisme dengan mudah melakukan penetrasi politik maupun ekonomi yang tujuannya, menguras sumber daya ekonomi.
Di sektor pengelolaan sumber daya alam, peran kapitalisme AS sangat dominan. Sektor keuangan, properti, dan bisnis ritel, juga sudah didominasi oleh modal asing. Semuanya terjadi karena kebijakan pemerintah sendiri, terutama sejak pasca krisis tahun 1998, ketika Indonesia menjadi “pasien IMF”. Resepnya, antara lain, liberalisasikan sektor keuangan, perdagangan dan investasi, serta privatisasi BUMN.
“Nasi telah menjadi bubur”, lantas apakah kita akan balik badan dan kemudian mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia akan mengambil sikap “go to hell modal asing”? Rasanya tidak realistis bersikap seperti itu. Orang bisa bilang jangan lebay atau narsis, kita sebaiknya tidak melakukan langkah keliru dalam menyikapi fenomena ekonomi yang sudah mengglobal.
Sikap semacam itu bisa saja muncul di sebagian masyarakat kita yang berpikir realistis dan rasional. Tapi, manakala dinilai dari sudut pandang politik, jawabannya pasti akan cenderung menolak, karena sistem yang liberal dipandang merugikan kepentingan nasional. Sudut pandangnya akan dengan mudah mengatakan, Indonesia akan terjajah kembali jika kita membiarkan sistem ekonomi nasional menjadi sangat liberal.
Bersikap Pragmatis
Persoalan nasionalime dipertaruhkan ketika sistem yang liberal kita biarkan tumbuh subur. Hingga kini, debat tentang ideologi ekonomi terus berlangsung dari waktu ke waktu. Dan celakanya, tidak ada yang berusaha menengahi secara politis, bagaimana cara menyelesaikan “perang” ideologi ekonomi di negeri ini, karena para elite politik nggak ngaru atau tidak peduli dengan isu-isu politik yang bermuatan ideologis.
Apalagi di bidang ekonomi, ideologi mereka adalah takhta dan harta meski pun tidak semuanya. Elite politik bangsa ini lebih senang bersikap pragmatis, sehingga mereka lebih cenderung bersikap “masa bodoh”, biarlah ideologi ekonomi tetap menjadi bahan diskusi saja di kalangan para penggemarnya.
Presiden Jokowi berada di Tiongkok menghadiri KTT APEC. Sesudah itu ke Myanmar menghadiri KTT ASEAN, dan setelah itu hadir di forum G-20 di Australia. Secara politis forum-forum tersebut tidak akan pernah bicara soal ideologi ekonomi masing-masing negara, karena semua pemimpin negara yang hadir sudah terikat pada perjanjian kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi yang basis utamanya liberalisasi dan perdagangan bebas.
Pak Jokowi hampir pasti tidak akan berbicara tentang ideologi ekonomi. Barangkali beliau akan lebih berani mengatakan tentang isu keadilan ekonomi. Tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dan berbicara tentang kerja sama ekonomi yang lebih memberikan bobot agar kepentingan nasional negara pihak bisa dihormati, karena posisi kekuatan masing-masing negara tidak sama.
Dengan imajinasi yang seperti itu, maka yang akan menjadi concern dalam forum internasional barangkali diarahkan untuk mengatasi dampak negatif globalisasi dan perdagangan bebas. Koreksi sistem dan aturan main akan menjadi arus utama bahan perundingan untuk lebih menjamin terwujudnya sistem ekonomi yang berkeadilan.
Isu perdagangan bebas sebaiknya digeser ke arah yang lebih elegan, yaitu kerja sama ekonomi lebih mengedepankan prinsip win-win dan menghindari sejauh mungkin prinsip zero sum game. Prinsipnya, semua negara pihak pada dasarnya harus dapat menjamin kelancaran arus barang dan jasa, serta memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi negara pihak untuk berbenah.
Prinsip menjamin kelancaran arus barang dan jasa tidak identik dengan perdagangan bebas. Prinsip ini lebih memberikan penekanan bahwa kelancaran adalah keniscayaan dan berlaku universal. ***