Kompromi Ideologi Ekonomi
Bersikap Pragmatis
Persoalan nasionalime dipertaruhkan ketika sistem yang liberal kita biarkan tumbuh subur. Hingga kini, debat tentang ideologi ekonomi terus berlangsung dari waktu ke waktu. Dan celakanya, tidak ada yang berusaha menengahi secara politis, bagaimana cara menyelesaikan “perang” ideologi ekonomi di negeri ini, karena para elite politik nggak ngaru atau tidak peduli dengan isu-isu politik yang bermuatan ideologis.
Apalagi di bidang ekonomi, ideologi mereka adalah takhta dan harta meski pun tidak semuanya. Elite politik bangsa ini lebih senang bersikap pragmatis, sehingga mereka lebih cenderung bersikap “masa bodoh”, biarlah ideologi ekonomi tetap menjadi bahan diskusi saja di kalangan para penggemarnya.
Presiden Jokowi berada di Tiongkok menghadiri KTT APEC. Sesudah itu ke Myanmar menghadiri KTT ASEAN, dan setelah itu hadir di forum G-20 di Australia. Secara politis forum-forum tersebut tidak akan pernah bicara soal ideologi ekonomi masing-masing negara, karena semua pemimpin negara yang hadir sudah terikat pada perjanjian kerja sama ekonomi, perdagangan dan investasi yang basis utamanya liberalisasi dan perdagangan bebas.
Pak Jokowi hampir pasti tidak akan berbicara tentang ideologi ekonomi. Barangkali beliau akan lebih berani mengatakan tentang isu keadilan ekonomi. Tentang pentingnya pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dan berbicara tentang kerja sama ekonomi yang lebih memberikan bobot agar kepentingan nasional negara pihak bisa dihormati, karena posisi kekuatan masing-masing negara tidak sama.