Oleh: Emilliana Endang Sri Pudjomurti

ilustrasi
DARI hari ke hari, apabila kita simak keadaan masyarakat di sekitar kita, di negara kita, bahkan dunia, baik yang kita lihat secara langsung, maupun melalui TV, atau kita baca di koran, maka: Banyak manusia jaman sekarang ini begitu mudah marah, dan juga tampak mulai lenyapnya nilai-nilai moral, seperti halnya; semakin meningkatnya perilaku kekerasan, perkelahian, tawuran.Semakin banyak penggunaan kata-kata dan bahasa yang mengandung ejekan, makian.
Anak-anak muda mulai berani melawan orang tua, tidak sopan, membentak, bahkan mulai juga berani melawan aparat pemerintah, mencaci maki pembesar Negara. Banyak ketidak jujuran, ketidak adilan, kurang disiplin, kurang tanggung jawab. Bahkan sekarang semakin meningkat pula perilaku merusak diri dengan sex bebas, narkoba dan bunuh diri.
Pendapat ibu adalah pendidik pertama dan utama perlu disadari oleh para ibu, menghadapi kemerosotan moral. Dalam hal ini, wanita perlu menyadari betul tentang peran dan tanggung jawabnya yang sangat menentukan dalam membentuk watak manusia di dunia ini, karena tidak seorang pun manusia tidak terlahir dari seorang Ibu.
Bagi para wanita yang berusaha memiliki kehalusan watak atau berbudi pekerti luhur, tentu sangat menyadari tentang hal ini. Itu sebabnya para wanita yang tidak berusaha memiliki budi pekerti, berat tugas memelihara atau mendidik putra-putranya, sehingga anak-anak pun menjadi tidak memiliki budi pekerti. Keadaan ini tergambar dengan keadaan di negara kita sendiri saat ini, manusia bermoral menjadi hal yang langka.
Memang dalam melakukan perannya para wanita harus melaksanakan dengan hati yang tulus, dengan senang hati, dengan penuh kerelaan untuk berkorban. Disinilah pentingnya watak rela/ketulusan hati yang harus dimiliki oleh para wanita. Oleh karena, makna rela sebenarnya adalah ketulusan hati seseorang ketika melepas atau menyerahkan semua miliknya juga hasil karyanya kepada Tuhan dengan ikhlas. Hal ini karena menyadari bahwa semua yang tergelar di dunia sejatinya adalah milik Tuhan, maka sesuatu yang ada padanya tidak akan membekas di hati.
Semua hal yang menjadi milik kita, tidak hanya harta benda, keluarga, sahabat, jabatan, kedudukan saja, tetapi juga termasuk perasaan kita. Khusus bagi wanita, kita juga harus dengan ikhlas menerima kodrat kita sebagai wanita.
Wanita jaman sekarang, sudah berbeda dengan zaman Kartini, sekarang wanita bebas bersekolah, bekerja di segala bidang, tidak harus dipingit, atau dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenalnya dan bersedia dimadu. Namun wanita secara kodrat adalah tetap wanita. Karena secara fisik wanita dianggap lemah, dia tetap beresiko menjadi korban, merupakan sasaran empuk bagi penjahat, pemerkosa, perampok, dan juga harus siap dipojokkan oleh masyarakat.
Misalnya, harus pulang kerja malam hari, di samping menghadapi bahaya para penjahat, juga harus siap menjadi bahan gossip, bekerja bersama laki-laki juga harus siap difitnah, tidak cepat menikah juga dipergunjingkan. Semua ini harus dihadapi dengan hati rela, tegar dan bijaksana serta penuh pasrah kepada Tuhan.
Saat menjadi istri, wanita juga harus menerima dengan tulus, bahwa posisi suami adalah kepala rumah tangga, walaupun gaji istri lebih besar dari gaji suami. Budaya di masyarakat kita masih diberlakukan bahwa, tugas istri itu rangkap, walaupun sudah mencari nafkah, tetapi di rumah masih mempunyai tugas: olah-olah, isah-isah,umbah-umbah, resik-resik omah, dan momong bocah (memasak, mencuci piring, mencuci, membersihkan rumah dan mengasuh anak) . Kalau hal ini tidak diterima dengan hati rela, maka seorang istri akan selalu menggerutu dan bisa-bisa bertengkar terus dengan suami. Masalah ini sebenarnya bisa dikompromikan secara baik-baik dengan suami, dan pasti suami pun dapat mengerti.
Saat wanita harus mengandung anak, dan kemudian harus memberi ASI kepada bayinya, lalu mendidik putra putrinya, itu pun harus dilakukan dengan senang hati, dengan rela, mau berkorban, karena ini tugas suci dari Tuhan. Apakah ada seorang Ibu yang tidak rela harus mengandung, memberi ASI, dan mengasuh bayinya dengan penuh tanggung jawab?
Ternyata ada, yaitu saat mengandung penuh dengan keluh kesah, rewel, merasa terbebani, juga ada yang tidak mau memberi ASI pada bayinya, padahal ASI adalah pemberian Tuhan yang harus dimanfaatkan. Ada juga seorang Ibu yang tidak sabar mendengar bayinya menangis terus, lalu bersikap kasar, membentak, mencubit dan sebagainya.
Bagi wanita yang telah memiliki budi pekerti luhur memang sudah tidak terlibat perkara besar, seperti bertengkar dengan tetangga, ikut tawuran dan lain sebagainya. Wanita yang berbudi pekerti luhur pasti memiliki kesusilaan; bersikap, berbicara dengan kelembutan, sabar, jujur, penuh kasih sayang dan pengertian.
Sikap penuh kesusilaan pada wanita atau para ibu akan menjadi teladan bagi anak-anaknya, keluarganya, masyarakat sekelilingnya. Ini yang disebutkan bahwa wanita adalah tiang negara. Oleh karena dari ibulah anak-anak mendapatkan pendidikan watak yang pertama (sejak dalam kandungan). Kalau saja semua wanita di dunia ini memiliki kesusilaan yang luhur, dunia aman dan sejahtera, bukankah pria juga dilahirkan dari rahim wanita.
Ketulusan hati seorang wanita sangat penting, karena wanita dikodratkan untuk berkorban demi semua umat manusia, yaitu membentuk watak manusia yang baik, agar dunia damai – tenteram – sejahtera. ***