Ketimpangan
Oleh: Fauzi Aziz
KATA ini sering dipakai dalam berbagai disiplin ilmu untuk menggambarkan bahwa dalam kondisi tertentu di dalam semua aspek kehidupan ini, senantiasa selalu saja akan bertemu dengan suasana yang disebut ketimpangan. Secara harfiah bisa dimaknai sebagai kondisi ketidakseimbangan dan dalam bahasa politik biasa disebut terjadi ketidakadilan.
Apapun maknanya, kita bisa melihat dalam kehidupan sosial ekonomi di masyarakat tentang potret ketimpangan ini. Bisa terjadi antarkelompok pendapatan, ketimpangan antarwilayah dan sejumlah bentuk ketimpangan yang lain. Banyak kalangan ahli berpendapat bahwa ketimpangan bisa mengancam kohesi sosial dan dapat menimbulkan konsekuensi yang secara sosial tidak kita kehendaki bersama.
Konsekuensinya secara sosial bentuknya beragam dari hanya sekadar cekcok sampai yang paling membahyakan, misalnya, tawuran antarwarga, kejahatan, sampai yang paling ekstrem, misalnya ancaman, untuk memisahkan diri dari NKRI. Gambaran semacam ini sudah bukan rahasia lagi, karena secara kasat mata dapat kita saksikan sendiri sehari-hari.
Ancaman terhadap kohesi sosial yang seperti itu sangat merugikan keutuhan kehidupan sosial masyarakat, baik pada tataran rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Sepertinya sudah menjadi bersifat laten, tidak hanya terjadi di negeri ini saja, tetapi hampir terjadi di belahan dunia manapun.
Persoalan ketimpangan ini, jika pembahasannya masuk ke ranah politik perdebatannya bisa tidak akan ada habisnya, karena yang diperdebatkan adalah persoalan idiologi politik. Pada zaman yang sudah lewat kita mengenal doktrin sosialisme dan doktrin liberalisme. Kita mengenal ada istilah golongan kiri dan kanan. Dalam perjalanannya sejarah mencatat bahwa faham sosialisme tumbang, dan faham liberalisme yang masih bisa hidup sampai sekarang.
Kemenangan ini dibarengi dengan menangnya faham politik demokrasi liberal yang digerakkan oleh AS. Tapi, faktanya tidak sertamerta bisa dibuktikan bahwa faham sosialisme benar-benar sudah terkubur rata dengan tanah dan kehidupan sosial di masyarakat telah berubah total, tunduk pada faham demokrasi liberal.
De facto, sejatinya sosialisme masih hidup dan kita harus fair mengakuinya. Secara politik sejatinya yang berhasil menjembatani agar sistem kohesi sosial di masyarakatnya tidak tunduk pada faham sosialisme dan doktrin liberalisme adalah hanya Indonesia dan China. Negara kita berhasil menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup dan way of life. Menjadikan UUD 1945 ditempatkan posisinya sebagai landasan konstitusi berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Posisi Tepat
Dengan adanya Pancasila dan UUD 1945, maka secara de jure dan de facto Indonesia berhasil menempatkan posisinya secara idiologis politis pada posisi yang tepat.Tidak ke kiri dan tidak pula ke kanan.Tidak pula seratus persen tunduk pada rezim sosialisme dan tidak pula tunduk pada doktrin liberalisme. Bung Karno dan Bung Hatta sejatinya yang menemukan bentuk jalan ketiganya (The Third Way-nya Antony Giddens) untuk Indonesia yaitu Pancasila.
China, tetap komunis. Dia bukan negara demokrasi, tapi mendidik rakyatnya hidup seperti di alam yang demokratis. Jika kita mebaca buku John & Doris Naisbit berjudul China’s Megatrend, maka kita akan menemukan jawaban yang menarik, tentang way of life-nya yang dmotori oleh Deng Xiaoping. Ucapannya yang menarik adalah bahwa China menciptakan masyarakat yang sosial ekonominya sama sekali baru dengan “budaya perusahaan”.
Perusahaan yang melayani kebutuhan perusahaan dan orang-orangnya dalam alurnya sendiri menuju modernitas dan kesejahteraan. Deng, sebagai bapak China modern, sejak awal menciptakan pendekatan ala China untuk menyehatkan kembali China yang sakit. Tidak peduli kucing itu hitam atau putih,yang penting dia dapat menangkap tikus.
Pandangan ini menegaskan bahwa China adalah tetap komunis, dan berarti tetap tidak menafikan sosialime, tapi dalam mengelola perekonomiannya, mengakomodasi faham liberalisme dan pasar bebas.
Kalau Indonesia dan para penguasanya faham secara lahir batin tentang Pancasila sebagai way of life dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, masalah ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini seharusnya bisa dihapuskan atau dapat diminimalisir. Tapi, tampaknya tidak terjadi karena elite penguasa dan elite politik di negeri ini terjebak pada soal pragmatisme.
Wawasan kebangsaannya tidak paripurna. Bahkan karena terjebak pada faham pragmatisme dan idiologinya adalah uang, maka ketimpangan sosial ekonomi masyarakat hanya dijadikan alat propaganda politik. Dimanipulasi menjadi mesin politik untuk kepentingan partai dan elitenya.
Secara doktrin politik nasional, Indonesia harusnya bisa membebaskan diri dari masalah ketimpangan dan kesenjangan sosial.Tapi, sayang para pemimpinnya sibuk dengan cara masing-masing, sehingga masalah sosial terus-menerus bermunculan dengan intensitas yang berbeda, dengan perilaku yang melanggar prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. ***