Oleh: Edi Siswoyo

Ilustrasi
ADA pekerjaan baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan eksistensi wakil menteri konstitusional. Pekerjaan itu menerbitkan keputusan presiden (Keppres) baru dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap wakil menteri. Lho, kenapa?
Soalnya, ada kesan di masyarakat jabatan wakil menteri yang dibentuk Persiden SBY sebagai bagi-bagi hadiah politik setelah terpilih menjadi presiden melalui Pilpres 2009. Lihat saja dari 34 kementerian ada 19 orang yang menduduki jabatan wakil menteri.
Evaluasi itu dibutuhkan untuk menata kembali Kabinet Indonesia Bersatu. Ada dua masalah perlu mendapat perhatian. Pertama, analisis beban kerja kementerian yang membutuhkan penanganan khusus. Kedua, pemenuhan persyaratan konstitusionalitas jabatan wakil menteri.
Memang, kehadiran wakil menteri bukan hal baru dalam perjalan pemerintahan di Indonesia. Pada era Orde Baru kita mengenal istilah menteri muda. Pada era reformasi dan konsolidasi demokrasi sekarang ini, dikenal istilah wakil menteri. Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengangkat wakil menteri dengan pertimbangan …terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus. Pasal 10 undang-undang itu menjelaskan “Yang dimaksud dengan wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”.
Duduk perkaranya berkaitan dengan beban kerja kementerian dan eksesivitas hukum soal kehadiran wakin menteri. Soal beban kerja kementerian dibilang berat yang bisa berat, dibilang ringan ya bisa ringan. Yang, pasti analisis beban kerja kementerian sangat dibutuhkan untuk mendapatkan porsi yang tepat dan mengurangi kesan bagi-bagi “kue kekuasaan”.
Pengangkatan menteri–juga wakil menteri–merupakan hak prerogratif Presiden yang diberikan oleh konstitusi, UUD 1945. Maka, sebagai tindak lanjut keputusan MK tersebut, Presiden SBY perlu segera menerbitkan Kepres baru–yang memiliki semangat dasar konsitusi–soal pengangkatan wakil menteri.
Warga negara–melalui uji materi–bisa menggugat konstitusiuonalitas suatu undang-undang. Maka, para pemegang kekuasaan tidak bisa lagi “main-main” sesuai selera dalam membuat sebuah undang-undang. Konstitusi telah dijadikan sebagai bintang penjuru dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, bangsa dan berbegara! ***