Kementerian PU Tetap Ngotot Bangun Enam Jalan Tol
Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi
PEMBICARAAN pentingnya segera pengadaan transpotasi massal untuk pemecahan padatnya lalu lintas kendaraan di Jakarta belum fokus, ternyata Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tetap ngotot dengan rencana pembangunan enam jalan tol dalam kota yang dinilai merupakan upaya pemecahan kemacetan lalu lintas. Beberapa waktu lalu, Menteri PU Joko Kirmanto sengaja mengadakan pertemuan tertutup dengan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo di Balai Kota untuk bisa mengegolkan rencana tersebut. Tetapi, kapan mulai dilaksanakan pembangunan jalan tol yang dirancang berupa jalan layang itu, belum dipastikan.
Sebelumnya, berbagai pihak termasuk Dewan Transpotasi Kota dan pengamat perkotaan sudah memberi pandangan bahwa pembangunan jalan tol dalam kota bukan memecahkan persoalan kepadatan lalu lintas, tetapi justru jadi pendorong pertambahan jumlah kendaraan. Yang berarti justru memunculkan simpul-simpul baru kemacetan lalu lintas saat masuk dan keluar dari jalan-jalan tol tersebut.
Gubernur Jokowi pada awal menduduki kursi orang nomor satu di Balai Kota, juga sependapat untuk menolak rencana pembangunan jalan tol tersebut, karena hanya melancarkan kepentingan orang bermobil. “Saya lebih mengutamakan transportasi publik,” tegasnya waktu itu. Tetapi belakangan apakah karena adanya intervensi dari pusat, akhirnya menyetujui rencana itu. Hanya dengan syarat, harus bisa dilalui transportasi publik, seperti angkutan umum dan bus transjakarta.
Namun, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, AzasTigor Nainggolan mengatakan, diperbolehkannya angkutan publik melalui jalan tol layang itu hanya akal-akalan. Ia bahkan menyebutkan hal itu sebagai upaya “pembiusan” untuk mengegolkan rencana tersebut. “Kalau angkutan publik lewat jalan tol layang, siapa penumpang yang mau naik dulu ke atas jalan layang yang tingginya sekitar 12 meter di atas jalan reguler,” katanya.
Sementara itu Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyesalkan adanya persetujuan Jokowi atas rencana pembangunan enam jalan tol tersebut. “Tidak ada jaminan kuat untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Ibu kota, melalui pembangunan jalan tol. Belum ada kasus kemacetan di negara mana pun yang mampu diselesaikan dengan jalan tol,” katanya. Ia memberi contoh di kota Seoul, Korea Selatan, Boston dan Chicago di Amerika Serikat, untuk kelancaran lalu lintas, justru jalan tol yang ada dirobohkan.
Nirwono Joga berpendapat alangkah lebih baik bila biaya total Rp 42 triliun membangun enam ruas jalan tol layang itu dibuat untuk mengoptimalkan transportasi massal, jalan sepeda dll.
Rencana pembangunan enam jalan tol layang itu ditargetkan selesai tahun 2022. Yakni tahap pertama, ruas tol Semanan-Sunter sepanjang 17,88 kilometer dengan biaya Rp 9,76 triliun, serta ruas tol Sunter-Bekasi Raya sepanjang 11 km dengan biaya Rp 7,37 triliun.
Tahap kedua, pembangunan ruas tol Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 11,38 km dengan biaya R5,96 triliun, serta ruas tol Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,65 km dengan biaya Rp 6,95 triliun.
Tahap ketiga, pembangunan ruas tol Ulujami-Tanah Abang sepanjang 8,27 km dengan biaya Rp 4,25 triliun, serta ruas tol Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,56 km dengan biaya Rp 5,71 triliun.
Menurut Menteri PU Joko Kirmanto, pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota senilai sekitar Rp 42 triliun ini, menjadi satu dengan jalan tol lingkar luar milik PT Jakarta Tollroad Development.
Membatasi Kendaraan Pribadi
Dalam wacana yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini untuk mengatasi kemacetan di kota Jakarta, adalah perlu membatasi kendaraan pribadi dengan substitusi memperbanyak angkutan massal, apakah dalam bentuk Bus rapid transit (BRT), Monorel atau Mass rapid transit (MRT) dalam bentuk kereta.
Bahkan, untuk membatasi kendaraan pribadi secara tidak langsung selama ini, telah ditempuh kebijakan mengambil sebagian badan jalan untuk jalur BRT (bus transjakarta). Saat ini sudah ada 12 koridor busway. Demikian pula rencana akan menerapkan jalan berbayar elektronik (electronic road pricing-ERP) di berbagai jalan utama di Jakarta yang sedang dipersiapkan payung hukumnya.
Jalan berbayar elektronik ini sudah akan diberlakukan tahun 2014 nanti, dimulai di jalur 3 in 1 Jl Thamrin, Sudirman, Gatot Subroto, ditambah Jl Rasuna Said.
Untuk mengurangi minat menambah kendaraan pribadi juga mulai diterapkan pengenaan pajak progresif bagi mobil kedua, ketiga dan seterusnya. Retribusi parkir juga dirancang setinggi-tingginya di kawasan protokol dan area bisnis yang sibuk.
Sehingga, menjadi timbul pertanyaan mengapa Menteri PU ngotot untuk meneruskan rencananya membangun enam jalan tol dalam kota Jakarta yang akan merangsang pertambahan kendaraan pribadi karena sudah tersedia akses tol yang lancar.
Kalau semua jalan dibisniskan, sebenarnya tinggal memperluas jaringan jalan di Jakarta untuk dijadikan jalan berbayar, atau dijadikan jalan tol. Sehingga fungsi Kementerian PU untuk menyediakan infrastruktur dan sarana transportasi umum bagi kepentingan rakyat, diubah saja menjadi perusahaan umum sarana jalan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah berusaha keras mengatasi kemacetan lalu lintas dengan memperlebar jalan yang masih memungkinkan, melarang parkir di pinggir jalan, merekayasa arus lalu lintas agar lancar, menertibkan penguasaan jalan oleh pedagang kaki lima dan bahkan membangun jalan layang non tol untuk menambah akses jalan yang ada.
Sebenarnya kalau Kementerian PU mau berpartisipasi, bolehlah membantu membuat simpang susun di persimpangan jalan sebidang agar tidak perlu berhenti di traffic light, serta membangun fly over atau under pass di persimpangan jalan raya dengan rel kereta api. Hal ini sudah pasti akan memperlancar lalu lintas di Jakarta. ***