Site icon TubasMedia.com

Kembalikan PRJ sebagai Arena Pesta Rakyat

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

PENYELENGGARAAN Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau dalam bahasa asing disebut Jakarta Fair, akhir-akhir ini memang sudah melenceng dari tujuan semula sebagai arena hiburan, budaya dan pesta rakyat untuk memeriahkan peringatan Hari Ulang Tahun Jakarta setiap tahun. Pesta rakyat tahunan ini, bahkan dinilai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih mengakomodasi kepentingan pelaku usaha besar, ketimbang rakyat. Sehingga, tahun depan Pemprov DKI Jakarta berencana mengevaluasi penyelengaraan Jakarta Fair tersebut.

Pada awalnya, memang PRJ yang diselenggarakan mulai tahun 1968 pada masa pemerintahan Gubernur yang legendaris Ali Sadikin ini, merupakan kelanjutan Pasar Malam Gambir yang diselenggarakan pada masa penjajahan Belanda. Ali Sadikin yang akrab dipanggil Bang Ali ini melihat kehausan rakyat Jakarta akan hiburan, sehingga sebagian areal Lapangan Monumen Nasional (Monas) di depan kantornya di Balaikota, Merdeka Selatan, dijadikan arena pekan raya. Dengan menunjuk orang yang tepat, yakni Sjamsudin Mangan, yang menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta waktu itu, untuk memimpin pengelolaan arena hiburan rakyat ini, akhirnya berkembang sangat pesat dengan berbagai stan dan paviliun pameran, yang bahkan tidak tertampung lagi.

Selain berbagai seni budaya Betawi dan seni budaya daerah lain yang menjadi penduduk DKI Jakarta, bahkan berbagai permainan dan ketangkasan dari derah yang populer seperti permainan kim dari Sumatera Barat, turut memeriahkan pesta rakyat ini setiap tahun. Makanan khas Betawi seperti kerak telor dan aneka jenis makanan daerah lainnya, bisa ditemukan dan dicicipi di arena pekan raya ini. Bahkan, kue impor donat Amerika dengan proses pembuatanya, untuk pertamakali diperkenalkan di arena pekan raya ini. Dan yang lebih menarik lagi, semua harga-harga barang dan makanan/minuman yang dipamerkan, diberikan dengan harga spesial atau harga produsen.

Panggung–panggung hiburan ditebar di berbagai sudut arena, sehingga tidak terjadi penumpukan penonton. Demikian pula penempatan stan dan paviliun diatur sedemikian rupa, sehingga arus pengunjung bisa mengalir tanpa bertabrakan. Hampir seluruh pemerintah daerah provinsi di Indonesia memperkenalkan produk unggulan daerahnya, termasuk obyek wisata yang pantas dikunjungi. Departemen atau Kementerian juga ikut berpromosi, seperti Departemen Perindustrian, Perdagangan, Pekerjaan Umum, Pertanian, dll, memamerkan kegiatan-kegiatan dengan stan-stan daerah dan usaha binaan yang menunjukkan perkembangan dan inovasi baru yang cukup membanggakan.

Pokoknya, arena PRJ di Monas ini menjadi tempat memperoleh biburan, pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan harga tiket masuk pun betul-betul bisa terjangkau oleh rakyat kebanyakan. Berbeda dengan harga tiket masuk PRJ Kemayoran seperti sekarang ini Rp 30.000 per orang yang jelas cukup mahal bagi masyarakat awam. Walaupun nilai tiket masuk di Kemayoran ini, mungkin menurut perhitungan panitia, belum setara dengan biaya pembangunan arena yang dilakukan.

Pemindahan PRJ dari Lapangan Monas ke Kemayoran pada tahun 1972, selain untuk menampung minat peserta yang semakin besar, juga untuk memanfaatkan bekas lapangan udara Kemayoran yang sudah dipindahkan ke Cengkareng, Tangerang. Pengelolaan pun diserahkan dari Yayasan Penyelenggara Pekan Raya Jakarta, milik Pemprov DKI Jakarta ke pihak swasta. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama baru-baru ini mengatakan, tahun depan, Pemprov DKI akan memikirkan sendiri pesta seperti Jakarta Fair. Ia mengusulkan, agar pesta rakyat untuk memperingati HUT Kota Jakarta, 22 Juni itu, dikembalikan ke lokasi semula, di kawasan Monas.

Gubernur Jokowi juga di Balaikota akhir Mei lalu mengatakan, ingin mengembalikan acara bulan Juni ini sebagai pesta rakyat yang seharusnya lebih banyak mengakomodasi produk-produk kreatif berbasis budaya Betawi dan pelaku usaha kecil. “Mereka tidak mendapatkan akses di PRJ Kemayoran. Yang tampil di Jakarta Fair Kemayoran, justru lebih banyak pemilik modal besar, pelaku bisnis dan sifatnya komersial,” katanya.

Indonesia Fair

Apabila Pemprov DKI Jakarta betul-betul mengembalikan penyelenggaraan Jakarta Fair bulan Juni ke Lapangan Monas, maka pekan raya Jakarta di Kemayoran, ada baiknya dijadikan menjadi Pekan Raya Indonesia atau Indonesia Fair saja. Mungkin penyelengaraannya bisa diusulkan pada akhir tahun saja, sekaligus merupakan evaluasi perkembangan kemajuan Indonesia di bidang teknologi, produksi, jasa dan industri. Pengelola PT Jakarta International Expo (JIExpo) di Kemayoran tentu tidak akan merugi, karena pelaku usaha besar dari negara lain pun memungkinkan untuk diundang ikut ambil bagian dalam Indonesia Fair ini. Sehingga, sejumlah investasi dan gedung-gedung pameran serta fasilitas modern yang sudah terbangun di arena tersebut saat ini, tidak mubazir. ***

Exit mobile version