Kembalikan Kedaulatan Rupiah ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Oleh: Fauzi Aziz
BAIK valuta asing (valas) seperti dolar AS maupun rupiah, pada dasarnya fungsinya dalam perekonomian sama saja, yaitu alat pembayaran yang sah, sebagai sumber dana pembangunan dan sebagai dana cadangan.
Berarti, baik valas maupun rupiah keduanya merupakan sumber likuiditas yang penting bagi negara yang sedang membangun. Pada framing semacam ini berarti fungsi keduanya dapat dikatakan menjadi setara yang harus didayagunakan secara maksimal sebagai sumber dana pembangunan.
Nilai tukarnya kita hargai sesuai hukum pasar, tetapi harus diberikan catatan bahwa bila penghargaan dan kepercayaan terhadap rupiah tinggi di dalam negeri, keniscayaan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan valas lain kuat berpotensi bisa terwujud.
Tapi jika penghargaan dan kepercayaan terhadap rupiah sangat rendah, maka berarti sama saja kita merendahkan nilai tukarnya, sehingga ketika dikonversi menjadi sumber dana pembangunan menjadi mahal dan memerlukan rupiah dalam volume besar yang harus tersedia, sehingga rupiah yang beredar dinilai berlebihan yang bisa meningkatkan inflasi, dan kemudian sudah dapat dipastikan akan terjadi kenaikan suku bunga untuk mencegah overheating ekonomi.
Diskursus seperti itu yang kemudian kita tersirep pada satu kondisi yang bersifat paradox, yakni penghargaan dan kepercayaan terhadap dolar AS tinggi dan sebaliknya penghargaan dan kepercayaan terhadap rupiah cenderung rendah.
Kondisi paradox semacam itu telah menjadikan biaya pembangunan dengan menggunakan rupiah murni menjadi mahal dan biaya pembangunan dengan menggunakan dolar AS menjadi relatif murah. Penyakitnya ada disitu, yakni penghargaan dan kepercayaan terhadap rupiah rendah. Ketika rupiah yang beredar dikonversi menjadi dana pembangunan, harganya menjadi mahal karena harus dibayar dengan suka bunga yang relatif tinggi.
Suku bunga tinggi adalah imbas dari dua hal yakni pengendalian moneter untuk mencegah overheating dan sikap perbankan yang masih berorientasi pada Net Interest Margin (NIM) yang tinggi untuk menjaga agar harga sahamnya di pasar modal tidak jatuh. Kita tahu NIM yang tinggi memang menjadi harapan investor di bursa. Bahasan pada alenia pertama dan kedua ini, mudah dimengerti sebagai dalil umum yang membuat rupiah terpuruk.
Dan keterpurukan ini, kita sendiri yang banyak berkontribusi sehingga condong lebih menghargai dolar AS daripada rupiah sebagai mata uang kita sendiri.
Dalam perspektif berpikir proses, maka penulis berpendapat bahwa mari kita coba balancing dengan satu keyakinan dan kepercayaan, peran rupiah penting dan memiliki cadangan valas juga penting. Cadangan valas kita himpun dan cadangan rupiah juga harus kita himpun.
Dikonversi
Ketika cadangan valas masuk ke sistem perekonomian nasional, maka sebagian wajib dikonversi ke dalam rupiah, siapapun pemiliknya dan darimanapun valas itu datang. Cadangan rupiah sebagian dikonversi menjadi dana pembangunan dengan cost of fund-nya harus rendah, misal suku bunga acuan+1atau+2. Cost of fund yang rendah dibutuhkan agar biaya produksi bisa ditekan agar produknya kompetitif di pasar dunia. Begitu pula biaya logistik dan biaya input yang berasal dari impor harus ditekan dengan cara menetapkan nilai tukarnya di bawah harga pasar. Tindakan ini seperti ketika pemerintah menetapkan kurs tertentu sebagai dasar perhitungan pajak, bea masuk dan pungutan impor lainnya.
Inilah barangkali kita sebut insentif atau tindakan afirmasi konkrit pemerintah untuk menggerakkan ekonomi domestik.
Kita lama asyik berfikir di lingkungan external, tapi berfikir secara internal bersifat setengah hati sehingga fondamental ekonomi nasional menjadi tidak kokoh. Secara struktural juga rapuh karena orientasi externalnya yang selalu kita pikirkan dan akibatnya kita menjadi benalu akibat ketergantungan terhadap lingkungan external tinggi. Ketergantungan external tinggi, otomotis daya tahan rupiah rapuh.
Sebab itu, membangun ekonomi Indonesia memang harus dari dalam dengan sebanyak-banyaknya menggunakan dana rupiah yang tidak mahal. Panduan umumnya tetap berpegang pada prinsip ekonomi, yaitu efisien, produktif dan kompetitif.
Pertumbuhan ekonominya juga tetap bersandar pada kontribusi konsumsi, belanja pemerintah, investasi, industri dan ekspor. Arus utamanya adalah bangun dengan rupiah untuk hasilkan valas. Arus utama lainnya adalah kita dapat valas, sebagian kita bentuk menjadi cadangan dan sebagian kita konversi menjadi rupiah untuk kita jadikan modal kerja dan modal investasi untuk mbangun.
Perputaran uangnya harus dikelola seperti itu, tidak diserahkan penuh pada mekanisme pasar. Membangun ekonomi negeri ini perlu strategi, perlu triki, perlu kiat keberanian melawan arus dan jangan ikut arus, serta memiliki jiwa nasionalisme yang kuat dan percaya diri. Selama ini kita diajari dengan cara berpikir yang salah yaitu ngumpulin devisa bukan untuk membangun, tapi untuk bayar utang, untuk biaya impor. Dari Dolar kembali kembali ke dolar, sehingga posisi tawarnya makin kuat, sebaliknya posisi tawar rupiah menjadi lemah dan celakanya ketika rupiah digunakan untuk modal finansial, bunganya mahal karena harus ikut memproteksi dolar AS agar tidak kabur meninggalkan NKRI. Bukan dolar untuk penguatan rupiah. Penguatan dalam segala aspek ekonomi pasti butuh afirmasi dan insentif.
Bermainlah mengelola ekonomi dengan cara yang benar. Mulailah dari dalam sebelum berkiprah keluar. Kalau NKRI tidak mau menjadi obyek globalisasi dan liberalisasi ekonomi, maka konstruksi berpikir dalam mengelola ekonomi semestinya dilakukan dengan cara seperti itu.
Jika selama ini IMF dan Bank Dunia selalu menganjurkan dan merekomendasikan kepada negara emerging market seperti Indonesia agar menjalankan Structural Ajusment Progam, maka progam ini dilaksanakan untuk memperkuat posisi tawar rupiah. Arahnya adalah penggunaan dana asing hanya sebagai pelengkap dan penggunaan rupiah murni harus menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan.
Misal 70% rupiah murni dan 30% dalam bentuk valas. Kalau tidak demikian kita pasti babak belur karena kita sendiri yang membuat remuk redam nilai tukar rupiah di dalam negeri. Kembalikan kedaulatan rupiah ke pangkuan ibu pertiwi. Proyek putar kunci (turn key project ) harus dibatasi.
Aturan cadangan devisa perlu direformasi dimana sebagian harus dikonversi ke rupiah untuk menjadi dana pembangunan.
Selama ini sistem cadangan devisa adalah milik kita, tapi hanya boleh dipakai untuk bayar utang luar negeri dan membiayai impor dan membayar kewajiban internasional yang lain.
Enak di dia nggak enak di kita. Padahal sebagian semestinya bisa dipakai untuk membangun negeri ini, bukan untuk membuat nyaman kreditor dan investor globa, dan para importir. Ekonom aliran neolib pasti menolak pikiran nyleneh ini karena mereka sudah di-brain wash oleh teori ekonomi neolib.
Bappenas sebaiknya bisa membuat kebijakan bahwa projek pembangunan berskala nasional dan daerah harus dibiayai dengan rupiah murni dan dipakai untuk belanja baran danbahan yang TKDNnya tinggi. Jikapun ada komponen valas, maka tetap saja harus dibelikan barang dan bahan yang TKDNnya tinggi.
Mari kita ubah mindset cara membangun negeri ini. Mulailah dengan cara membangun dari dalam. Ubah cara pendekatan berpikir seperti framingnya Washington Concensus (yang membuat kita menjadi benalu dan menjadi obyek globalisasi dan liberalisasi ekonomi) menjadi dengan cara berpikir Indonesia Concencus.
Apa itu? Berarti harus berpikir dalam framing ekonomi konstitusi.Kita capek ngumpulin duit atau kekayaan bukan untuk bayar utang luar negeri, bayar impor, tapi mari kita gunakan untuk investasi dan re-investasi, sebagian kita tabung dan kita jadikan dana cadangan. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri).