Site icon TubasMedia.com

Kemauan Untuk Berubah

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

KONSEP dan teori tentang daya saing telah cukup banyak kita ketahui. Karenanya, jika konsep-konsep tersebut dijembreng dan digelar dalam satu hamparan penalaran yang smart, kita akan temukan esential character-nya, yakni perubahan.

Perubahan ini maknanya luas, menjangkau banyak sendi pengatur kehidupan manusia, sehingga sampai kita mendapatkan satu jawaban, menjadi manusia atau bangsa yang unggul.

Keunggulan ini akan tercermin dalam banyak aspek, Unggul karena pola pikir dan pola tindak kita berubah ke arah yang semakin produktif. Unggul karena selalu melakukan pembelajaran dan makin mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan tingkat kecerdasan intelektual dan moral yang terus berkembang.

Unggul karena kemampuannya dalam berbagai profesi semakin unggul dan berpestrasi. Akhirnya akan bisa mencapai tingkatan yang kita cita-citakan, mendapatkan pengakuan (recognize), baik dari masyarakat kita sendiri maupun oleh masyarakat internasional.

Sertifikat bahwa kita telah berhasil membangun daya saing adalah adanya pengakuan tersebut, tanpa harus kita minta- minta. Daya saing adalah a dynamic process yang intinya adalah perubahan terus menerus karena kita membutuhkan daya saing, yang hakekatnya adalah need.

Ia bukan idiologi dan bukan pula sistem. Sebagai need, maka harus kita kejar supaya kita memperoleh asupan yang baik dan berkualitas agar keunggulan menjelma menjadi daya saing bangsa atau daya saing korporasi yang sebenarnya dan hakiki yang menjangkau sendi-sendi kehidupan kita, baik dalam organisasi publik, bisnis, nirlaba dan masyarakat pada umumnya.

Berkenaan dengan hal-hal yang disampaikan di atas, maka satu pengalaman yang banyak terjadi adalah sulit melakukan sebuah perubahan atau mengajak untuk berubah karena daya saing tidak kita fahami sebagai kebutuhan.

Kita selama ini banyak menemukan kenyataan bahwa kepingin eksis dan survival tapi tidak mau berevolusi melakukan perubahan. Ingin naik kelas dan menjadi champion tidak mau belajar dan terus menimba ilmu, walau sampai ke negeri China sekalipun.

Jika proses ini kita abaikan, yang ada di depan adalah hanya “ancaman”. Tidak pernah berhasil menjawab tantangan dan merespon kesempatan yang ada di depan mata.

Berdaya saing dan berkunggulan tidak selamanya harus berada di nomor urut pertama. Boleh jadi hanya pada urutan kedua, ketiga atau boleh jadi berada pada nomor urut empat atau lima. Mengapa demikian ? Jawabnya karena daya saing pada dasarnya berbasis value not quantity dan uniqness.

Berbasis nilai bisa berupa nilai manfaat, pride dan sebagainya. Sedangkan uniqness umumnya lebih berurusan dengan karakter. Kalau di dalam produk biasanya akan nampak dalam desain, dalam bangunan, biasanya tercermin dalam gaya arsitekturnya.

Kita bisa lihat kesuksesan Samsung, semakin nyata terlihat sejak 2014, saat perusahaan ini berada pada peringkat ke-21 dalam daftar perusahaan paling dikagumi di dunia menurut “Fortune”. Dalam buku “The Samsung Way”, pendapatan seluruh kelompok bisnis Samsung pada 1987 baru 10 triliun won.

Tahun 2013 angkanya telah naik 41 kali lipat menjadi 410 triliun won. Kapitalisasi pasarnya naik 300 kali lipat dari 1 triliun won menjadi 318 triliun won pada tahun 2014. Nilai ekspornya mencapai 28% keseluruhan ekspor Korsel.

Tahun 2012, Samsung menguasai pangsa pasar paling besar di dunia untuk 26 produk. Sebegita besar prestasinya dan mendapatkan pengakuan internasional, seperti sebelumnya disampaikan bahwa Samsung pada tahun 2014 hanya menduduki nomor 21.

Contoh ini semakin memberikan justifikasi bahwa menjadi berdaya saing tidak harus number one.  Prestasi dan pengakuan itu diperoleh karena perubahan yang dilakukan terus menerus. Samsung tidak mau terjebak pada kondisi a static business, tapi lebih memilih dan membutuhkan berproses melakukan berbagai perubahan menjadi a dynamic business.

Pikiran ini sengaja disampaikan jelang pergantian tahun, yakni memasuki tahun 2017, yang oleh khalayak ramai disebut sebagai tahun baru. Apalah artinya sebuah tahun baru, jika kita lebih menyukai a static business, aman di zona nyaman, tetapi akhirnya kita tidak mendapatkan benefit apa-apa, kecuali ancaman karena kita tidak melakukan perubahan apa-apa, sementara para pemimpin dimana-mana selalu mengatakan perlunya membangun daya saing bangsa.

Membangun daya saing, akhirnya bisa dikatakan sebagai bagian dari pembangunan peradaban sebuah bangsa. Bukan sekedar melakukan enginering atau otak-atik konsep biaya untuk cost deduction dan bahkan bukan sekedar tampil beda. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

Exit mobile version