Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
PENYADAPAN yang dilakukan oleh Australia kepada beberapa tokoh penting di negeri ini sedang menjadi berita hangat di media masa. Kesimpulannya adalah kedaulatan politik Indonesia diinjak-injak, penyadapan dianggap melanggar hukum, ilegal dan melanggar hak privacy seseorang. Karena itu, pemerintah patut mengambil tindakan tegas, seperti yang sudah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia.
Sudah lama kita meragukan kerja politik luar negeri Indonesia dalam hubungan internasional karena sikap pemerintah yang lembek. Selama ini terkesan mudah mengalah dan banyak memberikan konsesi kepada negara lain yang sangat berkepentingan dengan Indonesia. Konsesi pengelolaan migas, mineral dan sektor-sektor ekonomi lainnya banyak dikuasai asing karena longgarnya kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah.
Inilah mengapa opini ini menyebut “kedaulatan politik” dan “kemandiriaan ekonomi” bangsa dipertaruhkan. Mainstream politik ekonomi bangsa selama ini oleh para elit penguasa telah dibawa masuk ke dalam pusaran sistem politik ekonomi liberal yang kapitalistik. Ada tidak ada penyadapan, Indonesia sejatinya sebagai negara berdaulat secara politik sudah sangat terbuka untuk “dieksplorasi” dan “dieksploitasi” serta gampang “dipermainkan” ketika nasionalisme kita tercabik-cabik.
Manakala, karakter dan integritas para elit penguasa tersebut lemah, maka semangat nasionalisme mereka mudah dipatahkan demi kepentingan pragmatis di bidang politik dan ekonomi. Kedaulatan politik ada tetapi nyatanya seperti tidak ada. Kemandirian ekonomi ada dalam tulisan/dalam dokumen perencanaan, tetapi ternyata prosesnya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Impor barang dan bahan masih besar jenis dan jumlahnya sehingga menguras cadangan devisa dan mengancam posisi neraca transaksi berjalan. Sadap menyadap memang harus diakui sebagai tindakan yang tidak terpuji. Namun hal yang lebih penting adalah jika bangsa dan negara bisa menjaga kedaulatannya dengan tidak “mengobral” kebijakan internasional dengan banyak memberikan konsensi kepada asing, khususnya di bidang ekonomi. Pun harus pula bahwa bangsa dan negara ini harus mampu membangun kebijakan ekonominya untuk mencapai kemandirian.
Karena itu, sangat diharapkan agar pemerintah dapat menduduk perkarakan tentang masalah kedaulatan dan kemandirian ini dalam prespektif ke Indonesia-an dengan menggunakan instrumen kebijakan/regulasi nasional yang tidak bertentangan dengan semangat konstitusi. Soal kedaulatan sudah pasti tidak bisa dikompromikan kepada asing dan sudah menjadi harga mati. Namun pada zaman globalisasi sekarang ini ada baiknya konsep tentang kedaulatan ini harus disepakati pengertiannya agar ada kesatuan pandang, termasuk konsep tentang kemandirian.
Dalam hubungan ini, peran MPR menjadi penting untuk membahas tentang isu kedaulatan dan kemandirian untuk menjaga keutuhan pemahaman oleh seluruh komponen bangsa. Dilain hal adalah agar kita semua dapat ikut menjaga keutuhan NKRI.
Sekarang ini pemahaman tentang makna kedaulatan dan kemandirian dalam prespektif politik bisa bersifat subyektif sehingga ketika ada kebijakan negara yang dinilai melanggar azas kedaulatan dan kemandirian isunya melebar kemana-mana. Isu kedaulatan bukan saja hanya sekedar berkaitan dengan soal menjaga teritorial atau kewilayahan, tetapi bisa mencakup hal yang lebih luas, yakni kedaulatan berfikir dan bertindak dan bagaimana menegakkannya.
Kedaulatan ini harus dikelola agar proses membangun kemandirian dapat berjalan pada rel yang benar. Dengan alasan apapun maka membangun sikap nasionalisme menjadi penting. Mengamankan kepentingan nasional harus bisa didefinisikan kembali makna dan tujuannya agar terdapat pemahaman yang sama diantara seluruh komponen bangsa.
Sekarang ini kedaulatan dan kemandiriaan kita sebut sedang dipertaruhkan karena pemahamannya secara filosofis dan implementasinya berbeda-beda pemahamannya. Kita ingin berdaulat dan mandiri di bidang pangan dan energi, tetapi kebijakannnya tidak dibangun dengan baik, sehingga swasembada pangan dan energi tertatih-tatih. ***