Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis
DI zaman globalisasi sekarang ini, masyarakat dunia telah dibius dan digiring ke arah yang salah dan menyesatkan oleh doktrin globalisasi. Kemajuan teknologi informasi dijadikan tameng yang meligimitasi, bahwa dunia yang telah mengglobal seakan-akan “diharamkan” berbicara mengenai batas negara (dalam konteks judul tulisan ini berbicara soal kedaulatan bangsa).
Bungkusnya adalah faham kapitalisme, neo liberalisme, kebebasan individu, demokratisasi dan pasar yang besar. Secara ekstrim dan terang-terangan, mereka yang menjadi penggerak dan pengikut doktrin tersebut menganggap bahwa uranium, nikel, bauxit, gas alam dan minyak bumi yang dimiliki suatu bangsa, tidak boleh diklaim hanya menjadi miliknya sendiri, tapi menjadi milik bersama masyarakat dunia untuk atas nama kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sedunia.
Kita sebagai bangsa Indonesia, sudah kena pengaruh doktrin yang menyesatkan tersebut. Diawali pasca krisis ekonomi tahun 1998 dan atas nasehat yang dipertuan agung IMF, Indonesia dipaksa tunduk, takluk tak berdaya, supaya meliberalisasikan perekonomiannya dengan melaksanakan progam deregulasi, privatisasi dan sejenisnya.
Kita dipaksa tunduk melaksanakan Konsensus Washington. Kepentingan AS dan Barat sudah mendapatkan seluruh apa yang mereka anggap terbaik bagi Indonesia tapi mereka juga bisa menikmati hasilnya. Tahun 1998 adalah awal dimulainya demokratisasi yang diikuti dengan desentralisasi dan saat yang bersamaan kita diminta meliberalisasikan sistem perekonomian.
Kebebasan individu digunakan dengan cara yang salah dengan akibat terjadinya konflik sosial dimana-mana karena persoalan disparitas dan ketidak seimbangan sosial dan ekonomi. Irak dihancurkan habis-habisan karena faham politik dan ekonominya dinilai tidak sejalan dengan doktrin ekonomi liberal dan demokrasi.
Iran terus dirongrong, dimusuhi, diancam akan dihancurkan negaranya karena tidak mau menghentikan proyek nuklirnya untuk tujuan damai. Sistem monarki yang masih banyak di Zona Timur Tengah bergejolak atau “dibuat” bergejolak agar negara di kawasan Teluk, semua tunduk dan patuh melaksanakan faham demokrasi dan sistem ekonomi yang lebih terbuka.
Semuanya itu dilakukan agar hegemoni barat dan AS tetap bercokol kuat di bidang politik dan keamanan serta ekonomi. Di bidang ekonomi, sebenarnya AS sudah tidak terlalu punya gigi lagi karena daya saingnya mulai rontok. Sikap barat yang seperti itu akan sontak berubah jika negara telah patuh menjalankan politik neo kolonialisme gaya baru yang berlindung atas nama globalisasi, liberalisasi dan demokratisasi.
Kalau sudah berhasil, maka kesempatan mereka masuk atas nama investasi dan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat leluasa. Mereka bebas melakukan akuisisi dan merger dan menguasai aset strategis terutama yang berkaitan dengan energi dan pangan. Mereka menggunakan alat propaganda globalisasi, liberalisasi dan demokratisasi untuk “menginjak- injak” kedaulatan sebuah negara yang kaya akan sumber daya alamnya.
Negara yang miskin hampir luput dari perhatian dan jangan-jangan mereka menganggap siapa suruh menjadi negara miskin. Supaya tidak salah persepsi tadi, maka semua negara di dunia dan termasuk Indonesia harus berani menyatakan dengan tegas bahwa kedaulatan negara dan bangsa itu bersifat given dan final, baik berdasarkan konstitusi negara maupun norma hukum yang lain.
Sebuah negara di belahan manapun berhak menyatakan dirinya sebagai negara yang berdaulat, baik secara ekonomi, politik, pertahanan dan kebudayaan. Oleh karena itu pula atas nama kedaulatan, masing-masing negara berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Nilai kearifan lokal biarlah tumbuh subur sebagai unsur pemotivasi sekaligus sebagai benteng untuk melindungi pengaruh negatif dari budaya luar yang tidak semuanya baik dan cocok dengan semangat nasional.
Kerjasama antar negara halal untuk menciptakan perdamaian dunia, tetapi menginjak-injak kedaulatan bangsa dan negara diharamkan karena berarti menghalalkan neo kolonialisme yang sesungguhnya berlawanan arus dengan semangat dan jiwa demokratisasi yang menjunjung tinggi nilai kemerdekaan dan kebebasan individu maupun kelompok.
Tidak boleh menggunakan standar ganda dalam menjalin kerjasama internasional antar negara di dunia. Tidak boleh melakukan “perselingkuhan” sedikitpun dalam melakukan kerjasama tersebut di bidang apapun. Semuanya itu adalah bertentangan dengan sifat kodrat manusia dan kemanusiaan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai kemartabatan dan keberadaban.
Inilah esensi sebuah pemahaman tentang pentingnya kedaulatan bagi sebuah negara dan bangsa dan tidak diharamkan untuk menjadi negara dan bangsa yang berdaulat penuh sekecil apapun negeri itu. Buat Indonesia, sikap politiknya sudah eksplisit dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 dan dipertegas dalam bab I pasal 1. ***