Kebohongan, Korupsi dan Penghindaran
Laporan: Redaksi

Ilustrasi
JAKARTA, (Tubas) – Di trotoar kawasan Monumen Nasional (Monas), Rabu (14/9) para pemuka umat beragama dan tokoh berkumpul untuk memanjatkan doa pada aksi “Puasa dan Doa Bersama”. Aksi yang juga diikuti umat beragama itu, merupakan bentuk keprihatinan atas berbagai kasus korupsi, kebohongan dan penghindaran tanggung jawab oleh kalangan elite politik.
Masyarakat Indonesia mungkin sudah sampai pada titik lelah menghadapi perilaku para elite politik, entah itu legislative, atau eksekutif. Sampai akhirnya masyarakat, tokoh maupun para pemuka pemeluk berbagai agama hanya mengandalkan doa, dan puasa. Tapi masyarakat tetap bertanya apakah pemerintah akan mampu menangani kebohongan maupun korupsi dan penghindaran dari tanggung jawab.
Bahkan, banyak kalangan menilai, pemerintah sengaja memelihara budaya korupsi sementara isu pemberantasan korupsi hanya politik pencitraan. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida mengatakan, kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar tegas dan panglima dalam pemberantasan korupsi, maka ia akan memecat menterinya yang jelas-jelas terlibat korupsi karena Presiden yang menentukan menterinya bukan pilihan rakyat.
“Dalam banyak kesempatan Presiden SBY menyatakan berada paling depan memimpin pemberantasan korupsi, ternyata tidak berdaya ketika kasus suap dan korupsi justru terungkap di sejumlah kementerian,” kata La Ode Ida dalam diskusi “Pemberantasan Korupsi Hanya Politik Pencitraan” yang diselenggarakan oleh Rumah Perubahan, Selasa (13/9) pekan lalu.
Dikatakan, korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah jelas. Ada juga korupsi di kalangan para pembantunya, tapi Presiden SBY tidak tidak memberhentikan menterinya. Presiden terus saja melakukan pencitraan dengan menyatakan memimpin langsung pemberantasan korupsi, tapi tidak melakukan tindakan tegas terhadap menterinya karena ada korupsi di lingkungannya, katanya.
“Di semua lini dan level begitu menggurita, tetapi korupsinya tetap dipelihara dan dirawat oleh pejabat dan politisi. Presiden bisa dianggap menjadi musuh bersama kalau tetap membiarkan pembantunya yang bermasalah dengan korupsi. La Ode juga melihat gejala yang menyedihkan, terjadi regenerasi dalam korupsi yang ia sebut sebagai “reproduksi budaya korupsi”.
Maksudnya korupsi sudah menurun ke generasi yang lebih muda. Ia melihat fenomena, mantan aktivis mahasiswa yang saat ini berada dalam lingkaran kekuasaan dan dikaitkan dengan korupsi yang sekarang ditangani KPK, katanya.
Sementara itu, mantan anggota DPR Zulvan Lindan sebagai pembicara lain mengatakan, politik pencitraan Presiden SBY dalam pemberantasan korupsi, sangat berbahaya. Perilaku koruptif di bawah pemerintahannya dibungkus dengan perbuatan yang seolah-olah baik. Ini suatu kebohongan public, katanya.
Rakyat mengharapkan tindakan seperti Pemerintahan China di bawah Zu Rong-ji yang mengatakan: “Berikan saya seratus peti mati untuk para koruptor. Kalau saya gagal, satu peti mati untuk saya.”. Tapi para elite politik kita senang berbohong, korupsi dan menghindar dari tanggung jawab. Sebab itu, perlu aksi “Puasa dan Doa Bersama” sepeti yang dilakukan di kawasan Mona situ. (apul)