Kasihan…, Pengusaha Batik Merana

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

PEKALONGAN, (Tubas) – Pengakuan internasional akan batik sebagai The Intangible Cultural Heritage oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 lalu tidak membuat industri batik turut menikmati popularitas batik yang sedang membumi.

Seorang tokoh batik Pekalongan yang juga pengusaha dan pendiri Batik Tobal, Fatchiyah A Kadir, mengaku omset ekspor industri kreatif miliknya menurun drastis sejak 2007 lalu.

“Tahun 2007 pada triwulan pertama masih ekspor, setelah itu udah nggak. Saya ekspor sudah 34 tahun, karena krisis ekonomi global dan bom ekspor turun,” tutur Fatchiyah di galeri batiknya pada saat dikunjungi tim Kementerian Perdagangan , Pekalongan, 2 Oktober 2011.

Fatchiyah mengatakan, usaha batiknya didirikan sekitar tahun 70-an. Ketika itu kondisi batik di tanah air sedang tidak menguntungkan akibat adanya batik printing sehingga dia memilih pasar ekspor agar dapat bertahan meskipun melalui pasar Bali.

“Tahun 1974 baru ekspor langsung, ke Australia, Perancis, Kanada, dan Amerika,” kata Fatchiyah.

Fatchiyah menyebutkan, ia menyasar pasar ekspor karena sangat menjanjikan, bahkan pengusaha yang juga pernah mendapatkan Upakarti dari Presiden pada tahun 1993 ini juga mengaku setiap minggunya ia mendapat permintaan batik untuk pasar internasional.

“Paling besar 20 tahun lalu, bisa mencapai 400 ribu potong per tahunnya sehingga saya harus mempekerjakan 500 orang tenaga kerja,” ungkap Fatchiyah.

Sebelum membuka pabrik sendiri, Fatchiyah melanjutkan, ia mengajak para pembatik tradisional di wilayah selatan Pekalongan tepatnya di Simbang Kulon dan Simbang Wetan untuk memproduksi batik pesanan ekspor itu. “Total sampai 1.000 pembantik,” ucapnya.

Pembatik yang diajak kerjasama, kata Fatchiyah, dibentuk kedalam 40 kelompok yang terdiri dari 5-20 pembatik di setiap kelompoknya. Pada awalnya, dia tidak mengawasi langsung kerja kelompok pembatik itu karena jarak antara rumahnya dan sentra batik sebagai lokasi produski cukup jauh.

“Setelah delapan tahun bekerja sama dengan mereka, karena pasarnya ekspor, saya kerepotan untuk delivery sehingga saya alihkan dengan mulai buka di sini. Sejak tahun 1981, semua proses di sini, nggak pindah-pindah lagi,” Fatchiyah.

Batik yang diproduksi, kata Fatchiyah, bukanlah batik bermotif tradisional yang berdasarkan pakem seperti umumnya batik-batik khas Pekalongan maupun batik daerah lainnya.

“Ciri khasnya, semi kontemporer, karena pasar saya ekspor, jadi tidak bisa menerapkan pakem, saya jadi kuli saja karena warna, motif dan lainnya ditentukan dari sana,” kata Fatchiyah. “Untuk ekspor saya kombinasikan motif etnis Indian, Hawaian, dan Aborigin,” tuturnya.

Untuk menjaga permintaan tetap tinggi, Fatchiyah harus menyesuaikan diri dengan permintaan konsumen ekspor, ia juga membuat sendiri canting maupun cap batiknya. “Kalau mau ke ekspor harus menyesuaikan, tapi kalau untuk dalam negeri pakai pakem, yang pasti saya lebih baik ekspor,” ungkapnya.

menurut Fatchiyah Sebagian besar batik yang di ekspor adalah batik dengan pembuatan menggunakan teknik cap, campuran cap dan tulis, serta batik menggunakan canting kasar atau biasa disebut batik kagok (tanggung). Dia juga hanya melayani untuk musim panas karena batik hanya dapat digunakan pada musim itu.

Setelah 30 tahun berjalannya pasar ekspor, terjadi perubahan tren. Fatchiyah memperkirakan ini terjadi akibat pasar yang jenuh sehingga permintaan batik ekspor mulai menurun. “Dari 500 tenaga kerja saya hanya bisa bertahan dengan 70 orang karyawan, itu pun sangat memprihatinkan, bahkan sampai nggak ekspor,” ucapnya.

Fatchiya melanjutkan, Ekspor batik yang dilakukannya sudah berhenti total selama dua tahun ini. Agar dapat bertahan, ia kembali menyasar pasar domestik. “Kebanyakan pakaian jadi, ada juga yang bentuk bahan belum jadi, sesuai keinginan pembeli, tapi nilainya jauh kecil dibanding ekspor,” tuturnya.

Saat ini, lanjut Fatchiyah, batik bermerek Batik Tobal  miliknya hanya diproduksi sebanyak 14-20 ribu potong baju batik dalam setahun. Tapi ia tetap optimis batik akan tetap istimewa dan pasar eksor akan kembali pulih seperti sebelumnya.

“Istimewanya batik itu ada ruhnya karena pada pembuatannya dahulu kala ada ritual-ritualnya. Sekarang batik juga bisa dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat kita,” kata Fatchiyah optimis. (timson)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS