Oleh: Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit
NILAI tukar rupiah ke dolar AS terus merosot. Artinya, harga dolar AS makin mahal ketika mata uang rupiah dipergunakan sebagai alat transaksi. Artinya lagi, harga produk-produk olahan industri di Indonesia segera melambung tinggi, karena bahan baku dibeli dengan dolar AS. Masalah utama, sebagian besar industri nasional masih bergantung pada bahan baku impor. Bahkan, ketergantungan itu amat tinggi.
Walau tetap dianggap tidak sempurna, meningginya nilai impor bahan baku industri masih dapat ditolerir. Pasalnya, tanpa bahan baku impor pabrik-pabrik dimaksud tidak akan dapat lagi berproduksi. Dampak negatifnya, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dan masyarakat, sebagai konsumen, kesulitan menemukan produk-produk olahan di pasar.
Selama ini, berapa pun nilai impor barang modal atau bahan baku tertentu, yang mendukung kelancaran pengoperasian pabrik tertentu, masih dapat ditolerir, karena kita belum mampu memproduksinya.
Kendatipun memperoleh toleransi, kita perlu bertanya kepada para pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pembinaan bidang industri di dalam negeri, sampai kapan ketergantungan pada bahan baku impor dipertahankan? Adakah batasan waktu atau target untuk melepaskan ketergantungan tersebut?
Target melepas ketergantungan itu amat penting ditetapkan. Untuk sampai pada target, disusun rancangan pokok dan terinci mengenai pembangunan industri atau produsen bahan baku. Peta wilayah dan potensi bahan baku mesti jelas. Pemasaran harus terjamin agar investasi yang ditanamkan tidak sampai sia-sia dan pengusahanya bangkrut.
Sedapat mungkin lokasi industri bahan baku tidak jauh dari industri pengolahan, supaya biaya lebih murah. Maka, survei bakal calon lokasi industri dan penelitian lokasi, hasil survei, untuk mendukung keterjaminan produksi bahan baku amat penting dilakukan. Rancangan pokok itu dapat berfungsi semacam garis-garis besar haluan negara (GBHN) khusus industri dan rancangan rincinya menjadi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Rajin Mengimpor
Seluruh pengambil keputusan dalam sektor industri harus menentukan langkah ke depan berdasarkan apa yang tertuang dalam GBHN khusus industri. Sekalipun para pemangku kepentingan silih-berganti, namun mereka tidak boleh menempuh langkah dengan selera sendiri-sendiri. Tetapi, harus mengikuti patron. Tidak boleh terjadi pelanggaran. Dengan demikian target tercapaai sesuai rancangan.
Yang aneh belakangan ini, Indonesia rajin mengimpor produk-produk pertanian, padahal “sarangnya” berada di bumi tercinta Indonesia. Maka, suara para pengamat yang menyebutkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebagai akibat defisit perdagangan yang berlangsung lama, rasanya mendekati kebenaran. Jelas, defisit perdagangan menguras cadangan devisa dan dampaknya nilai tukar rupiah melemah.
Bayangkan, barang-barang yang diimpor, akhir-akhir ini, adalah cabai merah, cabai keriting, jahe, jagung, singkong, dan bawang merah. Ini aneh, tapi nyata. Sebagai contoh sederhana, dulu, Indonesia terkenal sebagai eksportir sayur-mayur ke Singapura. Kini, hampir tidak ada lagi sayur dari Indonesia, kecuali petai, yang dijual di pasar-pasar Singapura. Mengapa demikian? Tidak pernah dijelaskan.
Mengapa ihwal impor cabai, bawang, jahe, jagung, serta singkong disebutkan aneh? Penyebabnya, Indonesia adalah sarang dari segala rupa hasil olahan pertanian. Tapi, koq harus impor? Di mana yang salah dan kepentingan siapa itu? Pada sisi inilah para penguasa dan penanggungjawab perekonomian nasional perlu mengayunkan langkah terobosan. Terutama meneliti mengapa harus mengimpor dan kemudian menghentikannya dengan menjamin pasokan dalam negeri tersedia.
Jargon Politik
Pasar untuk produk bahan baku dan produk akhir di dalam negeri sungguh luas. Dengan jumlah penduduk hampir 250 juta, Indonesia adalah “surga” bagi para produsen. Tinggal memaksimalkan pasar tersebut. Terkait dengan itu, program meningkatkan penggunaan produk dalam negeri harus diterapkan secara maksimal dan jangan hanya dijadikan jargon politik. Berikan contoh. Para penguasa yang dengan lantang menyuarakan agar rakyat menggunakan produk lokal sementara yang berteriak mengenakan produk-produk impor, ya endak benar juga.
Aparat pemerintah harus memberikan contoh kepada rakyat bagaimana cara mencintai produk lokal. Jangan hanya pintar berslogan, tapi praktiknya di lapangan jauh panggang dari api. Kalau mau jujur, mari kita periksa satu per satu pejabat tinggi negeri ini, baik itu kalangan eksekutif maupun legislatif, apakah sudah benar mengenakan produk lokal sesuai roh program meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, yang lebih dikenal dengan sebutan P3DN (Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri).
Kita periksa mulai dari sapu tangan, kaus kaki, pakaian dalam, sepatu, celana hingga alat-alat elektronik sampai mobil, sudahkah mereka gunakan produk lokal? Rasanya kalau semua insan di negeri yang kita cintai ini benar-benar mencintai Tanah Air melalui penggunaan produk lokal, sesuai program P3DN, maka industri nasional akan segera maju. Bayangkan dengan cara sekarang pun (tidak maksimal), industri nasional dapat tumbuh berkembang. Apalagi jika seluruh warga negara bersatu mendukung kemajuan industri, rasanya sektor industri Indonesia dapat melejit bagai meteor. Tidak percaya? Ayo kita coba. ***