Jokowi Jangan Tergoda Bisnis Jalan Tol
Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi
GUBERNUR DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) jangan tergoda bisnis jalan tol. Jakarta memang merupakan pundi-pundi uang bagi pemasukan pembayaran jalan tol, karena peredaran uang dan jumlah mobil yang besar terdapat di Jakata. Biaya pembanguan jalan tol bisa kembali dalam waktu yang singkat, sehingga BUMN Pekerjaan Umum berlomba-lomba kucurkan duitnya ke sana. Padahal, dampaknya bagi lalu lintas Jakarta bukan mengatasi kemacetan, malahan memancing untuk menambah jumlah kendaraan, sehingga menambah kepadatan dan pemborosan pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Penyelesaian kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah dengan jalan memperbanyak angkutan umum massal yang memadai, baik dalam bentuk bus atau dalam bentuk kereta rel bawah tanah atau kereta layang. Hal ini sudah dimulai dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas bus transjakarta yang diintergrasikan dengan bus sedang. Kemudian menyusul percepatan pembangunan kereta monorel, serta proyek mass rapid transit (MRT) yang tinggal memantapkan negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta.
Untuk pembatasan kendaraan pribadi sudah lama diberlakukan jalan three in one seperti di Jl Jenderal Sudirman, Jl MH Thamrin, dan Jl Gatot Subroto yang tujuannya untuk mencegah kendaraan pribadi yang hanya mengangkut satu atau dua orang saja. Setiap kendaraan yang melintas harus mengangkut minimal 3 orang. Kemudian muncul lagi ide dari Kementerian Perhubungan untuk melaksanakan beberapa jalan berbayar (electronic road pricing-ERP). Jadi setiap kendaran yang melintasi jalan tertentu, harus membayar dalam nilai rupiah tertentu.
Semua kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi minat orang memiliki kendaran pribadi, atau minat bepergian dengan kendaraan sendiri, sehingga jumlah kendaraan yang memenuhi jalan-jalan, sebagai penyebab kemacetan lalu lintas di Ibukota, menjadi berkurang. Jalan keluarnya, tentu harus segera membangun transportasi massal, sehingga pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan publik. Sehingga, sangat ironis bila Jokowi terjebak menyetujui pembangunan enam ruas tol atau jalan bebas hambatan dalam kota oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto baru-baru ini memang ngotot, agar proyek enam ruas tol ini dibangun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian PU bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di bawah Pemprov DKI Jakarta. “Apabila Pemprov DKI tidak ingin menginvestasikan dana BUMD DKI ke proyek ini, maka sejumlah investor lain, seperti dari Malaysia siap menggantikan posisi BUMD DKI,” kata Djoko bersemangat.
Hal itu dikatakannya menanggapi pernyataan Gubernur Jokowi waktu itu yang mengatakan, bahwa pembangunan jaringan transportasi massal paling tepat di DKI Jakarta, ketimbang membangun enam ruas tol. Jokowi mengatakan, dirinya pro-pembangunan transportasi massal, karena enam ruas tol itu dinilai hanya menguntungkan mereka yang bermobil. Namun pekan lalu, Jokowi seperti memberi “lampu hijau” ketika menerima pemaparan di kantor Kementerian PU.
Bangun Simpang Susun
Sebenarnya untuk memperlancar lalu lintas di Jakarta, selain membangun transportasi massal, harus bisa meniru Singapura membangun simpang susun di jalan-jalan raya, apakah membangun terowongan atau lintasan jalan bertingkat-tingkat. Artinya menghilangkan semua persimpangan jalan raya yang sebidang, sehingga tidak perlu pengaturan lampu persimpangan lalu lintas, dan semua kendaraan bisa berjalan terus bagaikan air mengalir.
Lagipula pembangunan jalan simpang susun ini, mungkin tidak perlu pembebasan lahan yang luas, cukup disekitar persimpangan saja, karena tanah di Jakarta sudah cukup mahal dan sangat terbatas. Demikian juga di setiap persimpangan kereta api, harus dibangun jalan terowongan atau jalan layang, sehingga kendaraan darat tidak perlu berhenti menunggu kereta lewat. Selan itu, jalan-jalan inspeksi di tepi-tepi sungai yang cukup lumayan jumlahnya di Jakarta, bisa diefektifkan menjadi sarana lalu lintas alternatif.
Sebenarnya, kata Jokowi, “lampu hijau” persetujuan pembangunan enam ruas tol oleh BUMN PU ini belum final, masih akan mendengarkan tanggapan dari publik. “Kalau publik terus-menerus menolak, ya, harus kita pertimbangkan,” ungkapnya hari Minggu (13/1). Ia sudah menggelar acara dengar pendapat publik Selasa (15/1) lalu di Balaikota Jakarta, dan hasilnya pro-kontra tanpa wujud. Dari penjelasan pihak PT Jakarta Tollroad Development yang memimpin konsorsium pembangunan enam ruas tol itu, tercium betapa besar kecenderungan bisnis profitnya, karena ada juga perusahaan swasta ikut di dalamya.
Tahun lalu, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) sudah jelas-jelas menolak rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota itu. Bahkan, DTJK akan mengajak segenap warga DKI untuk menolaknya, karena pembangunan jalan tol akan merangsang bertambahnya mobil-mobil pribadi.
Menurut kajian DTKJ, dana pembangunan jalan bebas hambatan yang mencapai Rp42 triliun itu hanya ingin mencari keuntungan, karena, setiap pertambahan jalan sepanjang 1 kilometer di DKI, selalu diikuti peningkatkan jumlah kendaran pribadi sebanyak 1.923 unit. Maka, lalu lintas Jakarta pun akan semakin macet, terutama di jalan keluar-masuk ruas tol tersebut.
Rencana enam ruas tol tersebut, adalah Kampung Melayu-Kemayoran (9,6 km), Semanan-Sunter via Rawa Buaya-Duri Pulo (22,8 km), Kampung Melayu – Duri Pulo via Tomang (11,4 km), Sunter-Pulo Gebang via Kelapa Gading (10,8 km), Ulujami-Tanah Abang (8,3 km) dan Pasar Minggu – Casablanca (9,5 km). Rencananya, dibangun jalan tol layang, sehingga Jokowi lebih setuju bila dijadikan untuk jalur bus layang (elevated bus) bagi bus transjakarta atau bus reguler. ***