Site icon TubasMedia.com

Jiwa yang Sehat, Membangun Budi Pekerti

Loading

Oleh: Bambang Rekorder

Bagian pertama dari dua Tulisan

Ilustrasi

Ilustrasi

SYARAT menjalankan kehidupan yang baik sebenarnya harus dimulai dengan memiliki budi pekerti yang baik. Akan tetapi seseorang tidak mungkin dapat membangun budi pekerti yang baik apabila tidak memiliki jiwa yang sehat.

Pengertian budi pekerti disini adalah akhlak manusia, membangun akhlak adalah sama dengan memelihara jiwa yang sehat. Oleh karena akhlak adalah bagian dari jiwa setiap manusia. Sedangkan jiwa adalah seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari angan-angan, perasaan dan nafsu-nafsu.

Jiwa yang bagaimanakah yang kita namakan sehat, kuat, lemah, sakit? Jiwa yang sehat, ialah jiwa yang sejahtera, tenteram dan bahagia. Jiwa kuat ialah jiwa yang dapat menciptakan, menimbulkan, mengadakan, memelihara iklim (suasana) sejahtera tersebut. Jiwa yang lemah ialah jiwa yang dalam pengolahan kesan-kesan dari dunia luar melalui pancaindra setiap kali kalah dengan pengaruh nafsu-nafsu, kekuatan dari anasir-anasir yang menjadi bahan dari tubuh manusia. Sedang jiwa adalah sakit, jika keseimbangannya terganggu, tidak ada ketenangan, atau letaknya imbangan tidak tepat.

Kita semua menginginkan jiwa sehat bukan? Dengan lain perkataan kita menginginkan budi pekerti yang baik, oleh karena budi pekerti yang baik menumbuhkan kebahagiaan. Setiap orang menginginkan kebahagiaan. Mengikuti jalan pikiran ini, untuk dapat bahagia kita harus lebih dahulu mempunyai jiwa yang kuat.

Tidak mungkin kebahagiaan datang dengan sendirinya, tidak mungkin sesuatu disulap menjadi kebahagiaan, tidak mungkin mantra-mantra menciptakan kebahagiaan. Kebahagiaan datang, tercapai, hanya atas dasar usaha, usaha yang tidak mudah, karena terdiri atas pendidikan diri sendiri dan latihan terus menerus. Kebahagiaaan tidak akan didapat oleh seorang pemalas.

Dari tiga unsur bentuk jiwa: angan-angan, perasaan dan nafsu-nafsu, perasaanlah yang menentukan taraf kesehatan jiwa. Memang perasaan itu sendiri adalah iklim jiwa. Apakah iklim ini tenang, tenteram, ataukah bergolak? Apakah di dalam pengaruhnya angan-angan dan nafsu-nafsu yang menarik ke arah badan wadak saja dan dunia luar, ataukah di dalam keadaan yang dapat menguasai keseimbangan?

Perasaan itu selalu ada, setiap kali timbul sebagai reaction (jawaban) atas pengaruh dari luar, misalnya rasa marah, puas, sedih, senang, iri, sayang dan seterusnya. Tentang marah misalnya, dikatakan oleh seorang ahli filsafat: “Orang yang tidak dapat marah itu tolol, orang yang tidak mau marah itu bijaksana.” Soalnya adalah bukannya untuk mematikan perasaan, akan tetapi untuk mengatur dan menguasainya. Istilah asingnya “Emotion Control”.

Obat,yaitu usaha kita untuk menuju kekesehatan jiwa tidak lain ialah melatih diri, terus menerus tidak pernah berhenti, untuk mengendalikan impuls-impuls yang merupakan reaction (jawaban) atas kesan-kesan yang kita terima, yang secepat kilat diolah oleh angan-angan dan nafsu-nafsu, dan pada umumnya secepat juga kita terjemahkan ke dalam sesuatu perbuatan, sudah barang tentu dengan segala akibatnya.

Pada dasarnya, jawaban atas kesan-kesan itu hanya ada dua macam, yaitu, menolak atau menerima. Jika diibaratkan bunga, iklim menolak mengakibatkan bunga itu menutup daun-daunnya, jika menerima, daun-daun bunga itu membuka (mekar). Mekar akan memperkuat jiwa, menutup melemahkan jiwa. Perasaan menolak, jika setiap kali diulangi terus menerus, akan menjadi kebiasaan, kemudian menjadi watak (tabiat), yang sudah barang tentu mempunyai akibatnya.

Jika “penolakan” dengan lain perkataan “rasa marah”, kesal, iri, tidak senang dan sebagainya itu diterjemahkan ke dalam suatu perbuatan. Perbuatan ini mungkin hanya terdiri dari pengeluaran kata-kata atau mungkin hanya berbentuk roman muka (face-expression), kita sudah menanam perbuatan yang tidak baik. Akibatnya kita tentu memetik buah perbuatan itu. Apakah seseorang percaya ataukah tidak, hukum Tuhan ini akan berlangsung.

Ada sebuah cerita yang menceritakan, seorang lelaki mengatakan kepada istrinya: “Jika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, janganlah lekas-lekas berbuat atau berkata, tetapi diamlah dulu sejenak. Apa sukarnya untuk duduk diam dahulu?” Ini satu latihan “emotion control” yang baik, karena memang tidak mudah untuk diam sejenak pada saat perasaan di dalam iklim menolak.

Akan tetapi hendaknya kita waspada, bahwa dalam keadaan yang demikian biasanya angan-angan kita lupa memohon tuntunan Tuhan, tetapi sebaliknya mengikuti nafsu-nafsu, dan pada umumnya nafsu marah yang diikutinya.

(bersambung…..!!!)

Exit mobile version