Jembatan Timbang Berfungsi Tapi Tidak Berguna

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

DI sepanjang Pantura Jawa terdapat beberapa titik jembatan timbang yang berfungsi menimbang truk dan muatannya apakah bobot keseluruhannya melebihi kapasitas kekuatan badan jalan raya yang dilaluinya atau tidak.

Tapi survey membuktikan, bahwa hampir semua truk yang ditimbang melakukan pelanggaran kelebihan muatan. Menurut UU Lalu Lintas Jalan Raya atas pelanggaran itu seharusnya dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Namun yang terjadi di setiap jembatan timbang hampir semua pelanggaran diselesaikan secara ‘’adat’’. Sopir memberikan uang denda damai kepada petugas di jembatan timbang. Begitu seterusnya bila ketemu jembatan timbang pada titik berikutnya, pak sopir truk sudah harus menyiapkan uang sabun untuk menyogok petugas timbangan yang bertugas di titik berikutnya.

Pulang pergi akan terjadi hal yang sama dalam tempo 24 jam. Bagi para pengguna moda angkutan darat pasti sudah tahu apa yang akan terjadi akibat fenomena itu, yakni jembatan timbang berfungsi tetapi tidak efektif menyelamatkan badan jalan yang rusak akibat truk pengangkut barang yang lalu lalang selama 24 jam melebihi kapasitas angkut.

Kementerian Perhubungan dan dinas-dinasnya di daerah bekerja untuk “merusak” badan jalan dan jembatan karena penegakan hukum tidak jalan dan Kementerian PU bekerja memperbaiki badan jalan dan jembatan yang dirusak oleh Kementerian Perhubungan yang hingga sekarang tidak berhasil menegakkan sanksi atas pelanggaran muatan.

Fenomena ini yang kemudian oleh media disorot sebagai bentuk penyakit menahun karena siklusnya bersifat permanen. Perbaikan jalan dan jembatan lebih terkesan sebagai pekerjaan yang bersifat kejar tayang. Yang penting jadi dulu/rampung dulu, habis selesai dilibas lagi oleh truk-truk angkutan barang yang dibiarkan “melanggar” batas maksimun yang diperkenankan dengan akibat akan segera membuat jalan dan jembatan rusak kembali.

Fenomena mengenai pengaturan jalan raya dan jembatan di Pantura dan di daerah lain di Indonesia dapat kita temu kenali ada beberapa segmen persoalan yang menjadi penyebab. Antara lain berkaitan dengan persoalan fondamental struktur lahan dan badan jalan dan jembatan itu sendiri secara teknis.

Berikutnya adanya faktor “pembiaran” pelanggaran muatan sebagai akibat law and order tidak dilaksanakan secara taat azas. Dan faktor yang lain adalah berkaitan dengan proses pelaksanaan tender. Kalau pemerintah berniat akan mengoptimalkan penggunaan jalur jalan raya sebagai media infrastruktur yang berkualitas, maka ketiga masalah di atas harus bisa ditangani lebih baik.

Sebagian persoalan itu nantinya akan banyak tertolong oleh penggunaan moda KA yang jalur gandanya oleh pemerintah diperkirakan akan rampung pada akhir tahun 2013 atau pertengahan tahun depan. Moda angkutan laut dari kota-kota besar di Jawa dan dari Jawa ke Sumatera harus digalakkan dari sekarang untuk mengimbangi beban angkutan jalan raya yang makin berat dan macet. Kalau pertumbuhan ekonomi bisa melejit di atas 7%, apa jadinya kondisi transportasi darat, khususnya jalan raya bisa menampung bebannya, tanpa dilakukan pembenahan manajemen transportasi nasional yang memadai dan berkualitas.

Kasus pelayanan di jembatan timbang memang baru merupakan titik simpul kecil masalah karut marut di sekitar sistem manajemen transportasi di negeri ini. Andaikata fungsi jembatan timbang efektif dan setiap pelanggaran dikenakan sanksi tegas, persoalan tidak sesederhana itu.

Semisal kelebihan muatan itu sebagian barangnya harus dibongkar dan terpaksa harus diturunkan, maka timbul persoalan baru, yakni akan dikemanakan barang-barang itu. Ditahan atau dipindahkan ke angkutan truk yang lain atau bagaimana. Inilah esensi pentingnya perbaikan menyeluruh dalam sistem manajemen transportasi nasional. Tidak bisa ditangani secara ad hoc dan diselesaikan dengan pendekatan by accident. ***

CATEGORIES
TAGS