Jakarta sebagai Kota Dalam Taman

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

DULU, Gubernur Ali Sadikin telah mengidolakan Jakarta sebagai kota dalam taman. Sebuah Akademi Pertamanan yang didirikan Pemerintah Kotapraja Jakarta sebelumnya, di kawasan Semanggi, tempatnya Universitas Katolik Atma Jaya sekarang, yakni pada masa jabatan Gubernur Soemarno, diharapkan bisa menghasilkan ahli-ahli madya pertamanan yang mewujudukan cita-citanya menjadikan Jakarta sebagai kota dalam taman. Sejak itu pula, ia sudah mencanangkan bahwa setidak-tidaknya 30 persen dari luas wilayah kota Jakarta harus menjadi taman-taman kota, atau yang sekarang dikenal sebagai ruang terbuka hijau (RTH).

Hal itu pulalah yang digariskan dalam Pola Umum Tata Ruang Kota Jakarta 20 tahun (1960-1980) yang diciptakannya untuk pertama kali bagi sebuah kota di Indonesia. Tidak heran bila sedang berbincang-bincang santai dengan wartawan Balai Kota, Bang Ali berpesan agar menyaksikan kota Jakarta dari udara bila sedang naik pesawat. Ia mengharapkan adanya umpan balik dari setiap kebijakannya. Memang, pada masanyalah warga kota diperkenalkan adanya kawasan jalur hijau (green belt) yang bebas dari bangunan. Pentingnya suatu taman sebagai paru-paru kota, bukan hanya sekedar untuk keindahan lingkungan. Namun setelah Bang Ali berlalu, banyak taman-taman kota, beralih menjadi lokasi bangunan-banguan komersial.

Kini, Gubernur Joko Widodo alias Jokowi tampaknya akan mengembalikan Jakarta sebagai kota dalam taman. Ia telah menetapkan target lima tahun mendatang akan menambah ruang terbuka hijau (RTH) 20 persen lagi, dari RTH yang ada sekarang ini hanya sekitar 9,9 persen dari luas wilayah DKI Jakarta. Salah satu program perluasan RTH yang akan dilakukan, adalah dengan mengembangkan 1.000 taman interaktif di tingkat kelurahan. Sehingga kelak, total RTH bisa mencapai 30 persen dari luas wilayah DKI Jakarta.

“Kami akan mulai membangun RTH skala kecil, namun tersebar di banyak tempat,” kata Jokowi, ketika menghadiri Hari Tata Ruang di Jakarta, awal bulan ini. Taman interaktif dikembangkan paling tidak di dua tempat di setiap kelurahan, dengan luas mulai dari 200 meter persegi sampai 2.000 meter persegi. Untuk pengadaan lahan dan biaya pengelolaannya, Pemprov DKI Jakarta telah mengusulkan anggaran Rp240 miliar dari APBD DKI Jakarta.

Banyak Berubah

Jokowi mengakui, setelah mempelajari lebih dalam, kondisi Tata Ruang Ibu kota Jakarta saat ini banyak berubah. Penyebabnya, karena tidak ada konsistensi menjaga peruntukan lahan sesuai dengan rencana tata ruang dan tata wilayah. “Áda yang memainkan tata ruang, sehingga menjadi seperti saat ini. Itu bukan rahasia lagi, biarlah sekarang kita tutup buku, ke depan hal seperti itu tidak boleh ada lagi,” katanya dengan senyum sinis, mengungkap kecurangan yang terjadi selama ini di birokrasi Pemprov DKI Jakarta.

Sebenarnya, kalau Pemprov DKI sungguh-sungguh, sekarang ini banyak lahan untuk taman-taman yang tidak jelas kepemilikannya. Banyak lahan untuk fasilitas umum (Fasum) dan untuk fasilitas sosial (Fasos) yang wajib disediakan para pembangun (developer) kawasan-kawasan perumahan, dan diserahkan menjadi milik Pemprov DKI Jakarta. Namun, semuanya tidak terinventarisasi secara jelas. Sehingga, banyak lahan untuk Fasum dan Fasos yang tiba-tiba sudah terbangun menjadi milik perorangan atau korporasi. Tidak jelas siapa yang mengubah peruntukan lahan tersebut, apakah pihak pembangun (developer) atau oknum Pemprov DKI Jakarta.

Khususnya Dinas Pertamanan, harus proaktif memeriksa lahan-lahan yang tersedia dan diperuntukkan menjadi ruang terbuka hijau di berbagai kawasan perumahan atau lingkungan perkantoran, agar segera diokupasi dan dibangun menjadi taman untuk umum. Demikian pula lahan-lahan di bantaran sungai, agar berkoordinasi dengan pihak Kemeneterian Pekerjaan Umum, untuk dijadikan taman-taman dan ruang terbuka hijau.

Terutama dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2010 – 2030 yang sedang digodok saat ini untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, peruntukan ruang terbuka hijau, serta penyediaan lahan untuk Fasum dan Fasos semacam ini, harus diawasi ketat, agar tidak terjadi perubahan-perubahan. Inventarisasi kepemilikan tanah juga harus jelas dan pasti, untuk menghindari gugatan di kemudian hari, seperti halnya lokasi Kantor Wali Kota Jakarta Barat di Jl S Parman yang kini menjadi milik swasta.***

CATEGORIES
TAGS