Industri Daur Ulang Plastik Terancam Berhenti Berproduksi Karena Impor Bahan Baku Terganggu
PLASTIK BEKAS IMPOR- Inilah tumpukan plastik bekas impor yang dijadikan bahan baku industri daur ulang plastik.-tubasmedia.com/sabar hutasoit
BANDUNG, (tubasmedia.com) – Pelaku industri daur ulang plastik khawatir kalau industrinya masih bisa terus beroperasi, mengingat pengadaan bahan baku plastik bekas, mengalami gangguan.
‘’Jika impor bahan baku plastik bekas terus terganggu, tidak mustahil kami akan berhenti berproduksi karena ketidaksediaan bahan baku,’’ kata Direktur CAVE Sumber Berkat (CSB), Yudi Sutisna kepada wartawan di kantornya, Senin.
CSB adalah sebuah industri daur ulang plastik berlokasi di Kawasan Industri Kopo, Bandung yang mempekerjakan 480 karyawan. Produk yang dihasilkan adalah kantong plastik dan biji plastik yang pemasarannya selain lokal juga ekspor ke Somalia dan China.
Sumber bahan baku, selain dari dalam negeri yang merupakan plastik bekas sebanyak 22.500 ton per tahun yang dikumpulkan pemulung, juga didatangkan dari luar negeri sebanyak 25.000 ton per tahun.
Namun pengiriman plastik impor terhenti sejak sejumlah kontainer berisikan sampah impor yang diduga limbah beracun B3 ditangkap aparat Bea Cukai, Batam beberapa waktu silam. Hingga kini kasus limbah beracun B3 belum tuntas dan proses hukumnya masih berlangsung.
Akibatnya, importir plastik bekas yang selama ini mengirim bahan baku industri daur ulang plastik itu, kata Yudi ketakutan mengirim plastik bekas, khawatir mereka diberlakukan sama dengan pemilik kontainer yang berisi limbah B3.
“Terus terang, yang kami impor, murni plastik bekas dan bukan limbah rumahtangga ataupun limbah rumahsakit dan lainnya. Dan kami tidak pernah mengimpor sampah berkatogori “mix” tapi selalu yang berkategori 98/2 alias aman dari limbah beracun B3,’’ kata Yudi
Untuk itu, Yudi meminta pemerintah agar lebih bijak menangani kasus limbah beracun B3.
Limbah beracun B3 tersebut kata Yudi, masuk dengan gampang ke Indonesia mengingat adanya peraturan Kementerian Perdagangan No 31/2016 yang membolehkan impor “lain-lain”.
Karena itu menurut Yudi, jika pemerintah ingin merevisi peraturan Kemenperindag No 31/2016, kalimat “lain-lain” dalam peraturan itu sebaiknya dicoret sehingga tidak ada lagi impor sampah dalam bentuk “mix”.
Menurut Yudi, pihaknya setuju saja pemerintah melakukan penertiban terhadap barang-barang impor, khususnya barang bekas agar Indonesia jangan sampai dijadikan sebagai tong sampah limbah beracun yang didatangkan dari luar negeri.
Tapi lanjutnya, pemerintah juga harus bijak bertindak, jangan semua disamaratakan. Tanpa ada niat membela pelaku industri daur ulang plastik, katanya, semua pelaku industri daur ulang plastik dimaksud pasti hanya mengimpor plastik bekas yang jauh dari limbah beracun.
‘’Seratus persen yang kami impor adalah plastik bekas tanpa ada campuran barang lain. Ini kami jamin dan saya pertaruhkan hidup saya untuk menjamin hal tersebut,’’ tegas Yudi. (sabar)