Oleh : Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
INDONESIA kini tidak lagi sekadar mengikuti perubahan, melainkan sudah berada dalam perubahan, bahkan sedang memimpin perubahan. Demikian disampaikan oleh Presiden SBY saat pertemuan dengan para anggota delegasi dan pemimpin redaksi media massa Indonesia di London, Rabu (31/10).
Di dalam negeri, ungkapan Presiden SBY tersebut bisakah dibaca secara positif oleh elite bangsa ini? Harusnya demikian jika kita hendak membawa negeri ini dalam ranah pergaulan internasional yang lebih berimbang. Tubasmedia.com mencoba secara objektif memberikan opininya dalam berbagai prespektif.
Pertama, dalam perspektif politik, Indonesia harus membangun komitmen politik luar negeri baru untuk dapat berperan aktif dalam percaturan dunia. Semacam kesepakatan bulat para elite politik dan elite bangsa tentang politik luar negeri Indonesia ke depan, baik di kawasan maupun global. Kesepakatan nasional itu menjadi penting, karena kita berharap hasilnya dapat dijadikan sebagai platform dan sekaligus sebagai kebijakan nasional di mana semua pihak ikut bertanggung jawab.
Jika tidak, maka secara politis akan mahal ongkosnya, karena para elitnya saling mendistorsi yang saling berhadap-hadapan pada posisi pro-kontra secara tajam. Karena tidak solid, akibatnya isu “perselingkuhan” politik pada skala nasional, regional, dan global bisa saja terjadi karena dinamika dan kebutuhan akan perubahan terjadi setiap saat. Jadi dalam rangka membangun platform politik yang lebih beradab, maka sikap politik di tingkat nasional harus mampu mengubur semua unsur sentimen dan jangan ada napsu balas dendam.
Semangatnya adalah semua harus bahu-membahu membangun Indonesia dengan sistem poltik yang mampu menghadapi tantangan dan mengejar ketertinggalan bangsa ini.
Kedua, di bidang ekonomi, hampir sebagian besar masyarakat dunia memberikan berbagai penilaian. Indonesia adalah new emerging economy. Promising country dan negeri yang layak untuk berinvestasi (investment grade). Mari, platform politik nasional dengan nalar yang sehat apakah juga berfikiran serupa bahwa negeri ini memang gemah ripah. Kinerja pertumbuhan ekonominya sejak krisis 1998, 2008, dan krisis zona euro dan AS mulai pulih dan tahan terhadap badai krisis, karena Indonesia berhasil mengelola kebijakan moneter dan fiskalnya dengan prudent dan efektif.
Banyak “PR”
Oke, kita harus mengakui dengan jujur bahwa di bidang ekonomi masih banyak “PR” yang harus diberesi, seperti masalah infrastruktur, high cost economy dan soal perburuhan, di samping tentu yang terkait dengan masalah pemerataan pembangunan. Di bidang ekonomi, lagi-lagi juga perlu dicapai konsensus nasional agar kebijakan politik ekonomi Indonesia yang dikendaki bersama itu seperti apa dan bagaimana tahapan-tahapan pencapaiannya.
Daripada kita terus berdebat tentang rezim, lebih baik para elite bangsa ini duduk satu meja menyepakati sistem ekonomi nasional yang akan kita anut sebagai platform politik ekonomi agar mampu menjawab tantangan dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Jangan terus menerus kita udreg-udregan di meja diskusi, talk show yang terminasinya tidak jelas. Akibatnya lagi-lagi terjadi “perselingkuhan” di ranah ekonomi di negeri ini. Dari soal impor garam, impor daging, impor hortikultura, impor beras, impor kedele, impor migas terus hanya menjadi bahan diskusi.
Ada saja oknum, baik dari kalangan birokrat, politikus, maupun pedagang “berkolaborasi” dan “berselingkuh” dalam kegiatan impor tadi. Di lain pihak mulut besarnya selalu berucap kita harus bisa mandiri, bisa swasembada di bidang pangan dan energi atau di sektor yang lain. Paradoks.
Ketiga, di bidang kebudayaan kita juga kaya, tapi sampai hari ini, Indonesia tidak memilki kebijakan dan stretegi kebudayaan nasional. Agar Indonesia tidak sekedar follow the change, melainkan sudah dalam posisi with in the change, bahkan sudah lead the change seperti dinyatakan Presiden SBY di London, maka membangun kebijakan dan strategi kebudayaan menjadi sangat diperlukan. Kita tahu, sejak globalisasi melanda dunia, perubahan demi perubahan begitu cepat terjadi, cipta, rasa, dan karsa setiap manusia Indonesia juga mengalami perubahan atau pergeseran.
Secara alamiah memang sudah terjadi pergeseran itu, tata nilai kelokalan yang penuh kearifan telah pudar dan sirna serta berganti dengan tata nilai baru yang warnanya menjadi campur-aduk. Maka, negara ini perlu membangun kebijakan di bidang kebudayaan dengan visi keindonesiaan baru yang lebih bisa menjawab tantangan dan perubahan zaman.
Opini ini bersifat positif saja, dan lebih banyak ingin sharing walaupun bisa dinilai dangkal. Tapi, membangun Indonesia baru ke depan memang memerlukan upaya-upaya besar yang lebih bersifat strategik. Dan ini hanya akan bisa dicapai melalui konsensus nasional baru, apakah di bidang politik dalam negeri atau luar negeri, konsensus tentang sistem dan model ekonomi yang lebih cocok, dan perlunya Indonesia memetakan kembali tentang kebijakan dan strategi kebudayaannya agar bangsa ini tidak kehilangan marwah dan jati dirinya sebagai bangsa yang maju dan modern.
Pendek kata, seluruh pemangku kepentingan bangsa perlu merumuskan bersama “Indonesia New Deal” guna menjawab tantangan dan perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis berubah, karena berbagai kepentingan. ***