Indonesia Perlu Organisator Handal
OLeh: Fauzi Azis

ilustrasi
SEGALA macam pendekatan sudah dilakukan untuk menjalankan kebijakan dan progam pembangunan di negeri ini. Tapi tetap saja muncul kritik bertubi-tubi dari bebagai kalangan, baik yang disampaikan para ahli maupun yang tidak ahli. Wajar kritik disampaikan, sepanjang diniatkan dengan semangat perbaikan agar setiap kebijakan dapat mencapai sasaran dan target yang ditetapkan.
Bahkan bukan hanya sekedar mencapai sasaran dan target saja, Lebih dari itu, hasilnya diharapkan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Resultante dari semua kritik yang disampaikan oleh berbagai kalangan kalau boleh disederhanakan, yang menjadi harapannya yaitu agar semua yang sudah menjadi cita-cita sebagai bangsa dan semua yang sudah direncanakan, dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh supaya hasilnya dapat memecahkan bebagai problem pembangunan secara nyata.
Dalam konteks manajemen, tema utama yang sering dikritisi lebih banyak berada pada tataran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Padahal sejatinya ada tema yang tak kalah vital perannya, yaitu masalah pengorganisasian. Di simpul ini banyak mengandung kelemahan mendasar dan paling sering disinggung adalah soal koordinasi, sinergi dan kepemimpinan.
Rencana gagal dilaksanakan di lapangan karena pengorganisasian sangat buruk. Oleh sebab itu, Indonesia membutuhkan para organisatoris yang handal di segala lini yang mampu menterjemahkan, melaksanakan dan mampu menggerakkan roda organisasi secara efisien dan efektif.
Proyek-proyek pemerintah di lapangan banyak dinilai business as usual akibat dari sistem pengorganisasiannya buruk sehingga banyak yang mangkrak. Padahal jika dilihat dari kebijakan dan progamnya di balik poyek tersebut visi dan misinya sangat baik dan berkualitas. Di lingkungan birokrasi pemerrintah, baik di pusat/daerah, jumlah PNS-nya sangat banyak, namun yang mampu menjadi jenderal lapangan tidak banyak.
Lini tengah organisasi publik banyak yang berlatar belakang pendidikan bagus, tetapi mereka lebih banyak bekerja sebagai organisatoris pekerjaan yang bersifat administratif, bukan ditugaskan memikul tanggung jawab. Akibatnya banyak kegiatan di lapangan dikerjakan pihak ketiga/konsultan. Anggaran besar, tapi hanya habis dipakai membayar pihak ketiga. Peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan tidak optimal. Akibatnya tenaga-tenaga teknis yang trampil dan ahli menjadi idle karena waktunya habis untuk mengurus pekerjaan yang bersifat admiistratif.
Sebagai contoh, pembinaan sektor UMKM di lapangan memerlukan tenaga mereka untuk bertindak sebagai fasilitator dalam bebagai bidang yang diperlukan membina UMKM menjadi pebisnis yang tangguh, maju, berkembang dan selalu naik kelas. Contoh lain lagi adalah penanganan pengorganisasian terhadap bencana alam meskipun sudah ada BPBD, disana-sini masih banyak ditemukan masalah, baik saat tanggap darurat maupun tahap rekonstruksi dan rehabilitasi.
Kelemahan ini sejatinya tidak hanya terjadi di lapangan saja, tetapi juga terjadi di tingkat menengah dan atas. Problem ini yang pada akhirnya memunculkan masalah dalam pengorganisasian sehingga wajar selalu timbul masalah yang bersifat laten di bidang koordinasi, sinergi dan sinkronisasi akibat tidak dipimpin sosok organisatoris yang handal. ***