Indonesia Belum Berhasil Entaskan Sebagian Warganya dari Kebodohan
Oleh: Fauzi Aziz
INDONESIA kini “menderita” karena terdampak perubahan iklim yang tidak bersahabat. Banjir bandang terjadi dimana-mana tanpa pernah berhasil dibendung. Pada saat bersamaan, lingkungan sosial memanas akibat perbedaan pandangan, atau karena sebab lain, seperti adanya kesenjangan sosial yang kian melebar.
Secara normatif kita berharap bangsa ini bersatu. Merasa senasib sepenanggungan dalam melihat fenomena kemasyarakatan dalam perspektif politik, ekonomi dan budaya.
Bangsa ini sedang menghadapi cobaan berat untuk meninggikan derajadnya di muka bumi, agar secara keseluruhan bangsa Indonesia dapat hidup sejahtera, makmur, mandiri dan berkeadilan. Kita ingin segera keluar dari berbagai jebakan politik, ekonomi, budaya yang menghambat kemajuan dan menjerat diri sendiri karena terlibat konflik, sehingga bangsa Indonesia belum berhasil mengentaskan sebagian warganya dari kubangan kemiskinan dan kebodohan.
Secara bijaksana dan masuk akal, fenomena ini harus dipandang sebagai problem sosial akibat globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi yang sudah lama bersemi dalam sudut-sudut kesadaran kita. Sebagai bangsa, kita secara jujur harus bisa mengatakan bahwa bangsa terdampak negatif oleh proses globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi yang sayangnya pemangku kebijakan di negeri ini tidak memiliki waktu banyak untuk mengatasi problem dan dinamika sosial yang perkembangannya kurang kondusif.
Kebijakan sosial seperti tidak punya tempat di negeri ini. Sebagian besar waktu para pemangku kebijakan habis untuk membenahi masalah ekonomi. Barangkali paradigma yang digunakan adalah jika masalah ekonomi teratasi, masalah sosial akan teratasi dengan sendirinya.
Cara berfikir ini tidak salah, tapi terlupakan bahwa masalah sosial adalah inheren atau inklusif dengan masalah ekonomi. Masalah sosial adalah soal manusia dan kemanusiaannya yang bersifat kompleks dimana relasi sosial, hukum, ekonomi, psykologi, informasi dan komunikasi dan aspek kemanusiaan yang lain saling berinteraksi membentuk jati diri dan kepribadian seseorang atau sekelompok orang dalam satu komunitas sosial tertentu.
Jadi bukan sekedar sehat fisik, bisa sekolah dan kuliah saja kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Sebagai mahluk sosial, manusia perlu harga diri, memerlukan penghargaan dan penghormatan dan sebagainya. Oleh sebab itu, dalam konsep pembangunan selalu disebut sebagai pembangunan manusia seutuhnya dan secara inklusif sebaiknya selalu dilibatkan pikiran dan tindakannya dalam setiap proses pembangunan.
Itulah sebabnya mengapa kita berfikir jangan terlalu bergantung pada pihak asing dalam membangun negeri ini. Sekarang masyarakat dan bangsa Indonesia sebagian sudah melek menggunakan teknologi informasi.
Di media sosial, terpampang beragam informasi yang datang dari mana saja dan tiap saat berganti topik dari yang baik dan yang buruk bahkan terkesan jahat beredar dalam satu etalase telpon pintar dengan sangat bebasnya.
Banyak peristiwa kemanusiaan terpampang dengan vulgarnya selama 24 jam tanpa ada jeda sedikitpun beredar secara live tak tersaring sedikitpun berita baik dan buruk muncul silih berganti. Begitu pula gambar baik dan buruk bisa dinikmati oleh person by person. Tua muda, anak-anak menikmati gambar yang sama. Etalase berita, gambar dan ocehan terpampang vulgar di medsos.
Sesekali ikutan, baru buka saja sudah “mengerikan” lihat isinya. Sebab itu, lebih baik dibilang gaptek daripada adrinalin dan emosi kita naik. Inilah dampak negatif teknologi informasi. Di medsos perang urat saraf benar-benar terjadi antar person. Etalase sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat tererosi secara dahsyad, tanpa pernah bisa tergantikan oleh berita dan gambar bagus menurut budaya bangsa.
Ini tantangan dan sekaligus ancaman. Etalase Indonesia yang terpampang dalam media mainstream dan media sosial berpacu memamerkan secara telanjang bulat hiruk pikuk prilaku sosial baru bangsa Indonesia dari tataran elit sampai ke akar rumput seperti sedang mabuk demokratisasi dan digitalisasi.
Etalasenya tidak terisi mengenai hal-hal yang baik dan bijak. Revolusi mental menjadi terpental dari sirkulasi kehidupan berbangsa dan bernegara dan tergerus ombak dan badai kevulgaran arogansi sosial yang tak terbendung oleh sistem sosial yang bangunannya kokoh dan kuat serta saling menguatkan.
Mekanisme politik maupun mekanisme hukum dan mekanisme sosial belum sepenuhnya berhasil mengatasi dampak negatif globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi, sehingga di negeri ini tercecer sejumlah masalah sosial yang bisa menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa.
Masalah sosial bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah saja, tetapi menjadi masalah kita bersama. Oleh sebab itu, kita mengajak seluruh komponen bangsa membangun “Etalase kebaikan dan kebajikan bangsa” melalui beragam media.
Kebutuhan ini sudah mendesak, dimana doktrin pragmatisme sudah menjadi realitas yang tak terbendung. Konsoldasi kebangsaan tidak cukup dilakukan dalam dimensi politik dan ekonomi saja, tetapi juga mencakup konsolidasi sosial dan budaya.
Etalasenya harus terpampang di seluruh wilayah nusantara dari kota sampai desa. Teknologi informasi bersifat netral, tetapi penggunaannya harus ada filternya yang baik dan efektif untuk mengimbangi dampak negatif yang ditimbulkan. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).