Laporan: Redaksi
JAKARTA, (Tubas) – Yap Thiam Hien kelihatannya melakukan sesuatu yang sekuler dan profan, tapi semua itu justru merupakan cerminan betapa dalamnya panggilan, pemahaman, dan penghayatan iman Kristennya. Sebab baginya hukum, keadilan, dan hak asasi manusia (HAM) adalah tema sentral dalam ajaran Kristen. Sebab itu, bagi Yap iman tidak lepas dari masalah sosial.
Hal itu disampaikan Dr Todung Mulya Lubis pada sesi kedua pada kuliah umum mengenang Yap Thiam Hien (Yap Thiam Hien Memorial Lecture) yang diselenggarakan di ruang seminar Lantai 3 Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jalan Sutoyo No 2 Cawang Jakarta Timur, Selasa (14/6/2011). Kuliah umum yang diselenggarakan atas prakarsa UKI, Ukrida, PGI, Penabur dan STT Jakarta itu dihadiri sekitar 200 orang dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, pengacara, dan pakar hukum.
Dalam kuliah umum bertemakan “Kiprah dan Pemikiran Yap Thiam Hien dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan”, dihadirkan enam pembicara pada sesi pertama Ir Maruli Gultom, Rektor UKI (sebagai pembicara kunci), Dr AA Yewangoe (Ketua PGI), Dr Albert Hasibuan, SH, dan pada sesi kedua Pdt Josef P Widiatmadja, Dr Todung Mulya Lubis, dan Prof Dr John Pieris, SH, MH. Kuliah umum tersebut diselenggarakan untuk mengenang dan menggali kembali semangat, pemikiran serta kiprah Yap Thiam Hien; sebagai bentuk penghormatan atas perjuangan yang telah dilakukan Yap; dan untuk membangkitkan semangat dan sikap antidiskriminasi dalam masyarakat Indonesia dan global.
Menurut Mulya Lubis, Yap menjunjung tinggi nilai kejujuran; sesuatu yang langka saat ini, bahkan kejujuran membuat orang terusir dari kediamannya, seperti yang dialami Siami, ibunda murid SDN 2 Surabaya. Kejujuran sudah termasuk minoritas. “Sebab itu Yap sering dijuluki menyandang triple minority yaitu selain keturunan etnik Tionghoa, dan Kristen, dia juga adalah orang jujur yang sudah menjadi minoritas di negara ini, apalagi sekarang,” kata Mulya.
Sebab itu, sudah sejak 20 tahun lalu Mulya Lubis dikenal sebagai pemrakarsa Yap Thiam Hien Award yang diberikan kepada aktivis hak asasi manusia (HAM) pada setiap tanggal 10 Desember, Peringatan Hari HAM. Mulya mengaku mendapat kecaman dari berbagai pihak mengapa dia sebagai seorang Muslim, membela-bela seorang Kristen untuk menjadi pahlawan, pejuang HAM, padahal banyak orang lain juga yang menjadi aktivis.
Mulya hanya mengatakan, Yap tidak membeda-bedakan orang dan beliau membela seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu. “Banyak kenangan pribadi saya dengan Pak Yap, yang sebagian besar sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Beliau sudah saya anggap seperti orangtua saya sendiri,” katanya. Mulya berharap suatu saat Yap Thiam Hien Award meningkat ke regional, bahkan internasioanal karena hal itu layak, katanya.
Mulya Lubis mengingatkan, saat ini banyak sekali persoalan HAM yang dapat menjadi bom waktu di masa depan kalau tidak diselesaikan. Bangsa kita harus bermartabat dan menghormati hak-hak setiap unsur masyarakat di negeri ini. Pak Yap sudah membuktikan perjuangannya dalam hal ini, dan beliau pantas menjadi teladan dalam penegakan HAM.
Sementara itu, Pendeta Josef P Widyatmadja mengatakan, dunia mengakui kegigihan Yap dalam menegakkan keadilan dan HAM di Indonesia. “Perjuangan Yap dilandasi kejujuran dan keberanian. Yap tidak mewakili orang Tionghoa maupun agama Kristen dalam berjuang,” katanya. (apul)