Hortikultura Lokal dan Impor

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

TAHUN 70-an, produk hortikultura impor, khususnya buah, dikenakan ketentuan larangan impor. Larangan itu berlangsung sepuluh tahun lebih. Tujuannya, sangat jelas agar produk buah lokal berkembang, masyarakat tidak bergantung pada buah impor, dan terbiasa gemar memakan buah lokal. Devisa impor juga dihemat.

Namun, setelah kebijakan larangan impor dibuka kembali dan pengendalian impor hanya dilakukan dengan instrumen tarif dan tata niaga impor, ternyata hasilnya jauh panggang dari api. Produksi buah lokal tidak berkembang, seperti yang diharapkan. Masyarakat pencinta buah sudah berharap-harap cemas, bahwa kita akan segera menikmati buah lokal yang kualitasnya seperti buah asal Thailand yang serba Bangkok.

Ternyata, harapan tinggal harapan. Masyarakat membayangkan, semasa rezim larangan impor berlangsung, di dalam negeri terjadi proses rekayasa genetik yang luar biasa, yang dikembangkan oleh para ahli/insinyur pertanian, ahli jeruk, ahli pepaya, ahli durian, ahli manggis, dan ahli bawang putih, bekerja keras untuk mencapai suatu prestasi besar bahwa Indonesia akan menjadi pusat produksi buah terbesar di dunia, mengalahkan Thailand dan China.

Indonesia tidak perlu lagi mengimpor buah-buahan, setelah selama 10 tahun lebih melakukan proses litbang, pengembangan bibit unggul, dan melaksanakan proses transformasi teknologi serta investasi berkembang, sehingga yang tadinya menjadi net importir buah beralih menjadi net eksportir buah.

Swasembada no way, impor yes, dan terjadilah era di mana Indonesia menjadi banjir buah impor yang serba Bangkok dan menyusul buah China dan dari negara lain. Masyarakat langsung terpuaskan dengan buah yang serba Bangkok, sampai akhirnya lupa menyantap buah lokal. Tata niaga hanya dipakai sebagai alat perburuan rente, bukan dipakai untuk meningkatkan produksi dan produktivitas serta membangun institusi pasar dalam negeri yang kuat.

Mengurus Perizinan

Asyik mengurus pekerjaan administrasi perizinan impor dan lupa mengurus peningkatan produksi dan produktivitas. Terjadi missing link yang luar biasa dan tiap tahun kepada masyarakat hanya disuguhi angka ramalan (aram) serta slogan swasembada. Kalau mau bicara soal benar salah, maka jawabannya tidak bisa mengatakan bahwa buah impor yang salah.

Yang salah adalah “bunda mengandung” yang gagal mengembangkan bibitnya menjadi anak-anak (baca buah) yang berkualitas, karena salah asuh, salah asup, dan sebagainya. Ke depan, bagaimana nasibnya? Buah lokal atau buah impor? Ternyata dengan tingkat pendapatan masyarakat kota, khususnya kelas menengahnya sudah makin besar, seleranya sudah terlanjur mengonsumsi buah impor dan konsumen tidak bisa disalahkan, karena gaya hidupnya memang telah berubah.

Pemerintah hanya bisa mengimbau agar masyarakat mengubah gaya hidup untuk tidak lagi mengunyah buah impor. Fenomenanya sudah menjadi dilematis, tapi realitasnya sudah seperti itu, di mana masyarakat kita sudah berubah mindset-nya dari lokal ke global mindset. Celakanya, kalau kita perhatikan perkembangan yang terjadi, akhir-akhir ini, tetap saja Kementan masih sibuk otak-atik soal tata niaga impor hortikultura. Tidak ada progam terobosan di bidang peningkatan produksi dan produktivitas. Yang terbaca di media hanya rilis bahwa Kementan akan menambah 1.000-2.000 ha lahan untuk hortikultura, di mana itu tidak jelas.

Apakah tanahnya sudah ada dan siap dioperasikan, juga tidak ada informasinya. Sebentar lagi FTA ASEAN berjalan pada akhir 2015. Mudah-mudahan di pasar ASEAN, produk hortikultura Indonesia neraca perdagangannya bisa menghasilkan surplus yang signifikan, demi kesejahteraan para petani hortikultura lokal. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS