Site icon TubasMedia.com

Hai Masalah, Aku Punya Tuhan Yang Besar

Loading

Oleh: SM Darmastuti

Ilustrasi

SUATU pagi ketika sedang mengendarai mobil sambil mendengarkan siaran radio swasta, saya mendengar seorang motivator wanita mengatakan dalam siarannya bahwa kebanyakan orang mengeluh pada Tuhan ketika masalah datang. “Ya Tuhan, aku punya masalah besar!” demikian yang selalu mereka ucapkan. Mengapa keluhan itu tidak kita ubah menjadi kebanggaan. “Hai masalah, aku punya Tuhan yang Besar!”

Sungguh sebuah alternatif menarik yang baru sekali itu saya dengar, dan memang, dalam hati saya pun mengakui bahwa keluhan sering saya lontarkan ketika masalah datang. Biasanya saya lalu menyambungnya dengan mohon kekuatan menerima cobaan. Dan, Tuhan memang selalu mengabulkan permohonan saya seperti apa yang dijanjikan-Nya.

Alternatif ungkapan gagah berani dengan mengatakan, “Hai masalah, aku punya Tuhan yang Besar,” sesungguhnya akan lebih memberikan kekuatan pada kita karena dalam ucapan semacam itu, kita menunjukkan keyakinan bahwa Tuhan yang Besar akan membantu kita menyelesaikan masalah yang datang. Keyakinan atau percaya yang sungguh-sungguh kepada Tuhan akan menjadi tali penggandeng yang kuat antara kawula dengan sembahannya. Antara manusia dengan Tuhannya.

Apa yang akan kita bawa ketika nanti kita mati? Segudang ilmu yang berpuluh tahun kita pelajari, segedung buku yang selama hidup kita kumpulkan, rumah-rumah yang tidak terbilang jumlahnya, anak, cucu, tetangga, orang-orang yang amat kita cintai, ternyata semua tidak akan dapat lagi menyertai perjalanan kita menghadap Tuhan. Hanya tangan Tuhan lah yang akan terus menuntun kita menuju rumah keabadian, itu pun kalau sejak masih hidup kita sudah menyerahkan kepercayaan kita kepada-Nya. Tanpa penyerahan total kepada-Nya, tidak mungkin ada talirasa yang menjadi ikatan.

Hidup ini hanyalah perhentian sejenak dari seluruh rangkaian perjalanan kita menuju hidup abadi dalam istana Allah. Akankah kita isi saat-saat kita ‘mampir’ di dalam kehidupan dunia ini dengan melaksanakan tugas yang dibebankan Tuhan kepada kita, atau akan kita pakai raga kita untuk berkelana memuaskan nafsu mumpung kita masih di ‘ampiran?’ Tentu semua akan ada hasil akhirnya masing-masing. Yang jelas masalah akan semakin sejibun ketika kita terlelap dalam nafsu duniawi. Masalah yang datang pada kita selain tuaian dari perbuatan kita di masa lalu yang belum tertebus, juga mungkin kita tambah dengan masalah baru yang terus kita tumpuk saat ini.

Seorang teman yang tengah menghadapi cobaan besar karena uang yang ditanam di saham ternyata ludes, dan dia pulang ke rumah ibunya karena rumahnya dijual untuk menutup hutangnya, pada suatu hari datang menemui saya. Wajahnya yang dahulu ayu, sekarang berubah menjadi layu. Satu-satunya anaknya diikutkan adiknya karena dia tidak sanggup membiayai. Suaminya meninggalkannya. Aneh sekali rasanya melihat wanita yang dahulu selalu berdandan rapih dan wangi, berkendaraan mahal, memiliki condominium, villa dan rumah tinggal yang nyaman, sekarang tampil memelas. Kulit mukanya kusam, rambutnya tidak terawat, dan pakaiannya tidak lagi menampakkan wanita yang dahulu suka barang-barang ‘branded.’ Teman itu pun berceritera bahwa deritanya dimulai ketika dia tergoda untuk meletakkan seluruh uangnya pada bisnis saham. Pada mulanya dia selalu mendapatkan keuntungan yang fantastis. Nafsunya menggelora, dia mulai meminjam uang dari bank guna menambah modalnya untuk bisnis yang sebenarnya tidak dimengertinya seratus persen. Setelah beberapa tahun menikmati keuntungan dan kekayaan yang melimpah, tiba-tiba saja harga saham anjlok dan dengan sangat cepat uangnya habis. Dia dililit hutang, dan satu persatu mobil dan rumahnya dijual untuk menutup kekalahannya.

“Bisnis seperti itu ternyata seperti judi. Tetapi, pekerjaan apa sih yang tidak beresiko?” dia mengaku sekaligus membela diri. Sementara saya hanya diam sambil me-recall saat-saat kejayaannya yang ternyata hanya berjalan singkat dibanding kesulitan yang harus dia hadapi entah sampai kapan. “Teman-temanku ‘hang-out’ dahulu, sekarang tidak lagi pernah muncul. Aku dikeluarkan dari arisan, karena memang sudah tidak layak lagi bergaul dengan mereka.” Demikian teman yang lagi menderita itu berceritera lebih lanjut.

“Sekarang kesibukanmu apa?” pelan-pelan saya bertanya.

“Aku membantu kakak di jasa katering …” dia menjawab tidak kalah pelannya. “Kamu pasti heran kan? Aku dulu paling tidak suka memasak, sekarang harus membantu kakak memasak.” Katanya lagi kali ini dengan tersenyum pahit. “Hidup di dunia ini tenyata menjanjikan kemungkinan yang unlimited sayang aku salah memilih jalan berbisnis. Kini aku harus memulainya lagi dari awal tanpa modal apa pun kecuali tenaga yang masih tersisa,” katanya, “aku juga rajin berdoa pada Tuhan semoga uangku yang hilang dapat kembali lagi dan aku dapat hidup layak tanpa merepotkan saudara-saudara dekat,” sambungnya lagi.

Berdoa memohon rejeki pada Tuhan memang sah-sah saja, karena memang Tuhan Mahabesar, Mahakaya, sumber segala ilmu dan harapan. Semakin kita mendekat pada-Nya dan percaya kepada-Nya, semakin mudah Tuhan menolong apa yang menjadi kerepotan kita. Namun, kita harus ingat bahwa Tuhan, jauh lebih mengetahui apa yang sebenarnya kita butuhkan, dan Beliau akan selalu mencukupinya dengan cara yang kadang tidak kita pahami. Tugas kita hanyalah menanamkan rasa percaya tanpa reserve bahwa tidak ada kejadian di dunia ini yang bukan atas kebijaksanaan-Nya. Kepercayaan ini seharusnya kita sikapi dengan serius. ***

Exit mobile version