Gelang Karet

Loading

Oleh : Edi Siswoyo

Ilustrasi

Ilustrasi

ADA satu soal dalam kehidupan pers yang selalu menjadi masalah yaitu kebebasan. Masalah itu tidak hanya ada di negara otoriter tetapi juga terjadi di negara demokrasi. Di mana saja gerak hidup kebebasan pers seperti gelang karet.

Aksesoris di tangan yang terbuat dari bahan baku karet itu memang elastik, bisa mulur–longgar dan mengkerut–sempit tergantung kebutuhan. Tentu, ikatan gelang karet yang terlalu longgar tidak enak, terlalu sempit juga sakit. Dibutuhkan ikatan yang pas, sehingga peredaran darah bisa berjalan normal. Kebebasan pers merupakan “nyawa” bagi wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Di Indonesia kita telah merasakan elastisitas kebebasan pers (media massa cetak dan elektronik) yang mulur mengkerut itu. Di era Orde Baru, kebebasan pers mengkerut dalam koridor “bebas dan bertanggungjawab”. Pers diberi kebebasan tetapi harus bertanggungjawab. Pemerintah masih melakukan kontrol melalui surat izin terbit (SIT), surat izin usaha penerbitan pers (SIUP), pemberedelan (pencabutan surat izin) dan sensor halus maupun kasar.

Pada awal era reformasi, pers merasakan bulan madu kebebasan. Tidak lagi merasakan pembatasan, tidak ada pembredelan dan tidak menerima sensor. Tampaknya, bulan madu itu terus berlanjut dan dalam perkembangannya telah membuat kebebasan pers di Indonesia begitu longgar dan saking longgarnya menjadi kebablasan.

Bisa jadi koridor pers “bebas yang kebablasan” yang membuat maraknya kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi belakangan ini. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mencatat tahun 2010 telah terjadi 37 kasus kekerasan fisik dan 29 kasus kekerasan non fisik terhadap wartawan. Kasus itu terus bergerak dan selama Januari-Maret 2011 telah terjadi 16 kasus kekerasan fisik dan 15 kasus kekerasan non fisik.

Undang-Undang Pokok Pers (UU No.40 tahun 1999) telah menegaskan dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Tetapi, penegasan itu belum menjadi jaminan bagi pelaksanaan kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan pers masih menjadi masalah, termasuk penggunaan UU No.40 tahun 1999 sebagai lex specialis dalam menyelesaikan sengketa pers di Indonesia.

Bukankah sebaiknya dalam merayakan hari kebebasan pers internasional yang jatuh pada 3 Mei, dibutuhkan adanya pemahaman dan kesadaran stake holder pers nasional terhadap kebebasan pers yang bisa membuat “aliran darah” hak masyarakat mendapat informasi berjalan lancar dan aman. Semoga !***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS