Efisiensi Rendah, Ekonomi Indonesia Mudah Memanas
Oleh: Fauzi Aziz
INDONESIA ingin menjadi bangsa yang berdaya saing tinggi, tetapi ekonomi pasarnya banyak mengalami distorsi. Dalam kondisi demikian barang murah menjadi mahal dan barang mahal akan menjadi semakin mahal.
Celakanya, semua bisa memaklumi atas kondisi ekonomi yang pasarnya banyak mengalami distorsi. Permakluman berjamaah kata banyak orang. Dan permakluman ini muncul tidak mengagetkan karena masyarakat sudah terbiasa dan terlatih hidup dalam lingkungan ekonomi biaya tinggi.
Mau apalagi. Masyarakat tidak mampu melakukan koreksi atas ekonomi yang banyak mengalami distorsi. Yang punya kapasitas memperbaiki keadaan adalah pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan.
Ekonomi yang inflatoir pertanda kegiatan dan proses ekonomi tidak efisien. Dan Indonesia dalam posisi merugi karena daya saingnya rendah.
Pertumbuhan ekonomi terjadi dengan level berbiaya tinggi. Bayangkan, bila ekonomi Indonesia efisien, inflasinya pasti rendah dan kesempatan meraih pangsa pasar di luar negeri akan lebih terbuka karena daya saingnya tinggi. Ekspor Indonesia rata-rata hanya sekitar 25% dari PDB per tahun. Negara Asean lain seperti Thailand, Malaysia dan Singapura sudah di atas 50% rata-rata per tahun terhadap PDB masing-masing negara.
Ketidak efisienan ini yang membuat inflasi di Indonesia agak sulit berada di posisi rendah antara 2-3%. Bisa rendah, jika ekonomi lesu. Padahal yang idial bila inflasi rendah, tetapi ekonominya tumbuh. Ini pertanda bahwa kebijakan ekonomi dapat dikelola dengan baik dan berhasil melawan setiap ada distorsi pasar yang selalu menjadi ancaman terjadinya inflasi yang meningkat.
Ekonomi Indonesia di dalam negeri mudah memanas (overheating) akibat efisiensinya rendah. Tumbuh, tetapi gampang memanas dan setiap upaya untuk pendinginan selalu memerlukan biaya yang tidak kecil untuk memitigasi kondisi pasar yang tidak sehat akibat terlalu banyak distorsi.
Distorsi karena regulasi, distorsi karena desentralisasi/otonomi daerah dan distorsi karena permainan di jalur distribusi, serta banyak perburuan rente. Kondisi yang lebih bersifat umum, fasilitas infrastruktur pada umumnya memang belum memadai dan baru sekarang ini sedang dibenahi, yang menurut pemerintah tiap tahun memerlukan dana Rp 1.000 triliun.
Hingga tahun 2019, total diperlukan dana sekitar Rp 5.000 triliun. Inflasi terjadi karena distorsi pasar adalah ciri ekonomi Indonesia, terutama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak, seperti dalam tata niaga bahan pangan.
Inflasi yang tinggi menjadi ancaman bagi pelaksanaan industrialisasi karena bunga pinjaman investasi dan modal kerja menjadi relatif tinggi. Cost of fund yang tinggi berdampak langsung kepada biaya produksi. Beban biaya produksi juga tinggi akibat harga bahan baku mahal karena sebagian industri masih tergantung pada bahan baku dan penolong impor.
Biaya logistik bisa mencapai 17% dari biaya produksi akibat layanan infrastruktur yang buruk. Jadi dalam fenomena ekonomi semacam itu, inflasi di Indonesia terjadi karena dua hal sekaligus,yakni akibat pasar yang terdistorsi, ini terkait dengan persoalan perilaku dan akibat layanan insfrastruktur yang belum memadai dan problem utamanya, biaya investasi dan pembebasan lahan.
Persoalan ekonomi nasional ada di dalam negeri sehingga tanggungjawab pemerintah untuk melakukan pembenahan makin berat.
Inflasi adalah momok dan beban. Namun inflasi posisinya adalah akibat bukan dalam posisi sebagai penyebab atas fenomena ekonomi nasional yang masih cenderung high cost dan belum berhasil diefisienkan.
Kebijakan ekonomi beririsan langsung untuk bagaimana mengobati penyebabnya. Kalau remedy-nya tepat, distorsi pasar semestinya bisa diatasi.Tapi obatnya harus paten, dalam arti bukan hanya mengatasi gejala sesaat. Secara fundamental diperlukan kebijakan ekonomi yang mampu memberangus distorsi pasar.
Berarti pemerintah perlu menetapkan kebijakan harga atas komoditas strategis yang terkait dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak. Price policy di dalam negeri masih bersifat pro kontra. Para ekonom liberal cenderung menolak.
Namun para penganut sistem pasar sosial cenderung dapat menerima jika pemerintah menjalankan kebijakan kontrol harga sebagai bentuk intervensi pemerintah. Kalau pembenahan infrastruktur sudah berjalan dan semoga saja capaiannya maksimal, sehingga dampaknya ke penurunan biaya logis tik, signifikan.
Sepanjang kebijakannya konsisten dan berkelanjutan, serta semakin fokus mengatasi masalah pokok yang mengganjal pertumbuhan ekonomi, hasilnya akan menjadi lebih baik. Tetapi kalau sekedar nemperbaoki kiri kanan, ja ngan berharap hasilnya maksimal.
Atau bila semua diatasi secara ad-hoc, infla si rendah hanya bisa terjadi sesaat.
Semoga kedepan kebijakan ekonomi pemerintah makin berkualitas dan mampu mengatasi sejumlah isu penting dan strategis di bidang ekonomi, seperti perbaikan daya saing, kesenjangan,high cost economy, stabi litas nilai tukar dan mampu meredam gejolak eksternal. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).