Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
MELIHAT pada kenyataan yang ada hingga kini, secara de facto Indonesia menganut sistem ekonomi mekanisme pasar yang bersifat terbuka. Pemerintah sudah mengambil posisi bahwa liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi sudah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Pilihannya tidak ada lain, Indonesia menyemplungkan dirinya dalam dinamika ekonomi yang sudah liberal. Atas pengaruh World Bank, IMF dan WTO sebagai pengatur sistem ekonomi global, Indonesia berhasil dikolonisasi oleh ketiga institusi tersebut dan hasilnya adalah sejak tahun 1998 pasca krisis kita telah melakasanakan agenda privatisasi, liberalisasi dan deregulasi untuk mengefisienkan perekonomian nasional.
Indonesia adalah penganut John Maynard Keynes abad XX, penulis buku ’’The General Theory of Employment,Interest and Money’’. Keynes inilah yang mempromosikan teori ekonomi campuran dimana negara maupun swasta memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara.
Intervensi pemerintah harus dilaksanakan jika mekanisme pasar tidak berfungsi. Makanya pemerintah di bawah kepemimpinan SBY mencoba membangun sistem ekonomi nasionalnya berdasarkan pendekatan pro-growth,pro-job,pro poor dan pro-green. Dilema yang terjadi hingga saat ini adalah pemerintah dituduh neolib oleh sejumlah kalangan yang tidak setuju dengan kebijakan ekonomi pemerintah. Dinilai berlawanan dengan semangat konstitusi.
Padahal secara obyektif, paling tidak secara normatif kebijakan tersebut pada dasarnya telah sejalan dengan semangat konstitusi. Oleh karena itu, kelompok yang kontra ini mengusulkan kepada pemerintah dan para penyusun kebijakan ekonominya agar menjadikan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi bagi penyusunan kebijakan ekonomi dapat menjadi acuan utama.
Sikap politiknya cukup lugas, yaitu tidak boleh ada kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 dan 34. Dilema semacam itu adalah lebih banyak bersifat politis. Dan yang paling bijaksana dilemanya harus bisa diatasi. Kalau tidak akan terus menjadi perdebatan terbuka di ranah public dan hal ini tidak sehat dalam rangka mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara di bidang ekonomi yang lebih sesuai dengan semangat konstitusi.
Dilema ini jika mau diselesaikan harus ada pemrakasanya. Jika formatnya adalah dalam bentuk UU, maka DPR harus menjadi pemrakasanya, karena sejalan dengan perintah ayat (5) pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini (pasal 33) diatur dalam undang-undang.
Atau bila dikehendaki ada format lain yang lebih tinggi kedudukannya yaitu dalam bentuk konstitusi ekonomi, maka yang memprakarsai adalah MPR. Atau dalam bentuk yang lain yaitu dengan membuat secara khusus GBHN bidang ekonomi melalui tap MPR. Inipun harus diprakarsai MPR.
Sayangnya fungsi MPR sudah “dikerdilkan” oleh UUD 1945 yang telah mengalami amandemen sebanyak empat kali karena kehendak dan konsensus politik juga. Masalahnya menjadi sangat fundamental dan negara harus mengambil posisi untuk mencari penyelesaian terbaik.
Pemerintah harus terus bekerja, tidak boleh diberhentikan sedikitpun kegiatannya karena kebijakan ekonominya dinilai tidak tepat karena di dalam negeri harus bisa merealisasikan seluruh progamnya yang berbasis pro-growth, pro job, pro poor dan pro green.
Di dunia internasional juga dituntut untuk merealisasikan komitmen Indonesia di berbagai fora kerjasama internasional di bidang ekonomi khususnya, baik di kawasan Asean, Apec dan di lingkungan global seperti di forum WTO dll.
Diskursus yang kita dapatkan selama ini adalah hanya diseputar perdebatan tentang benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Tidak ada yang berikhtiar untuk melandingkan apa yang menjadi kehendak politik. Akhirnya semua tukar fikiran itu hanya berhenti di forum seminar dan talkshow. Harusnya bukan seperti itu. Dan yang paling idial adalah kita laksanakan rembug nasional untuk menyusun sebuah paltform kebijakan ekonomi yang lebih sesuai dengan semangat keIndonesiaan. ***