Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
MAKIN dekat dengan pelaksanaan MEA bulan Desember 2015, semua pemangku kepentingan ekonomi di dalam negeri, khususnya sektor pertanian dan industri manufaktur harap-harap cemas menunggu apa langkah strategis yang akan dilakukan pemerintah untuk membantu mereka agar minimal bisa tetap survival dan syukur bisa mengambil manfaat yang optimal dari pelaksanaan MEA.
Peta besar kekuatan dan kelemahan masing-masing negara sudah banyak dibahas. Salah satu faktor kelemahan yang sangat fondamental adalah daya saing kita rendah. Nisbah antara ekspor ke pasar global terhadap PDB dari 9 negara Asean selama kurun waktu 8 tahun terakir (2005-2012), posisi Indonesia adalah paling buncit, yakni rata-rata hanya 28,49%.
Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 223,29%; Malaysia 101,07%; Vietnam 75,80%; Thailand 75,44%; Brunei 74,79%; Kamboja 60,13%; Filipina 38,71% dan Laos 35,03%. Sulit membayangkan dalam rangka MEA, Indonesia bisa menjadi pusat produksi dan distribusi dalam waktu dekat di kawasan Asean.
Sepanjang lokasi-lokasi untuk menjadi pusat produksi dan distribusi di negara Asean lainnya masih cukup tersedia lahannya serta iklim investasi dan perdagangannya jauh lebih kondusif, maka pilihan untuk menjadikan Asean sebagai pusat produksi dan distribusi masih sangat terbuka di luar Indonesia.
Negara kita iklim makronya bagus dan cukup terkelola dengan baik. Tapi di sisi mikronya iklimnya buruk, high cost, banyak mengalami “trade-off” karena disharmonisasi regulasi. Akibatnya Kawasan-kawasan Ekonomi Khusus yang direncanakan tak kunjung terwujud. Mengurus fasilitas tax holiday juga muter-muter tujuh keliling tak kunjung terealisasi.
Tingkat ketidakpastian untuk mendapatkan fasilitas tax holiday sangat tinggi ,dibandingkan dengan fasilitas yang sama pada tahun 1967 saat UU PMA diberlakukan. Cita-cita untuk memiliki seperti kawasan Shenshen di China hanya ada di atas kertas. Namun, kata orang bijak, kita tidak boleh bersikap pesimis. Apapun kelemahan yang kita hadapi, bangsa ini harus bisa keluar dari sekian banyak masalah yang menghadang.
Langkah yang bisa dilakukan atau bisa ditawarkan adalah berikan kemudahan kepada perusahaan PMA/PMDN di bidang industri yang telah beroperasi antara lain berupa pemberian status sebagai Enterport Produksi Tujuan Ekspor( EPTE). Seluruh kawasan industri dijadikan sebagai kawasan berikat tanpa kecuali.
Beberapa pertimbangan yang menjadi alasannya antara lain adalah: 1) Azas dasar dalam pelaksanaan FTA adalah menjamin kelancaran arus barang dan jasa yang masuk dan keluar dari pabrik atau kawasan,nyaris tanpa ada hambatan sedikitpun dalam proses produksi dan distribusinya baik untuk tujuan ekspor-impor dan pasar dalam negeri.
2) Semua pelaku usaha tanpa kecuali pada dasarnya harus bisa memanfaatkan pasar ekspor yang makin terbuka di antara negara-negara yang melaksankan FTA. 3) Dalam FTA, kita tidak bisa menafikan masuknya barang dan bahan impor untuk keperluan proses produksi maupun untuk tujuan lain.Industri nasional yang sekitar 70% masih tergantung dari barang dan bahan impor lebih baik memanfaatkan skim EPTE ini dari pada menggunakan fasilitas BMDTP yang prosedurnya lebih panjang dan belum tentu semua fasilitas yang diminta dapat disetujui oleh pihak BKF kemenkeu.
4) Regulasinya sudah ada sebagaimana diatur dalam UU tentang Kepabeanan. 5)Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS dan mata uang asing lainnya menjadi sangat penting. Di samping itu inflasi harus tetap terjaga. Keduanya sangat mempengaruhi terhadap daya saing ekspor secara langsung sehingga stabilitasnya harus terjaga.
6) Pelayanan birokrasinya harus efisien, mudah dan cepat.7) Kredit modal kerja dan investasi suku bunganya harus dibuat kompetitif untuk mendukung pembiayaan ekspor dan impor.Likuiditas Lembaga Pembiayaan Ekspor harus diperkuat. Langkah ini yang patut disegerakan untuk diambil oleh pemerintah. Satu-demi satu kita putuskan dengan cepat dan tepat agar momen-momen baik tidak terlewatkan begitu saja. ***