Dana Abadi Umat Sebaiknya Masuk Basket Anggaran Pembangunan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

SEBELUM lahirnya Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, secara eksplisit terbaca bahwa sistem APBN tegas membedakan tentang penggunaannya, yaitu untuk membiayai belanja rutin dan belanja pembangunan.

Volume dan nilainya pun dapat langsung terbaca di dokumen APBN yang secara nominal dan persen langsung bisa diketahui besarannya. Dan pasti jumlah anggaran untuk mendukung pembiayaan pembangunan selalu lebih besar dari jumlah anggaran untuk membiayai belanja rutin.

Sejak berlakunya Undang-undang nomor 17 tahun 2003, pendekatannya diubah menjadi sistem single budget yang berbasis kinerja. Konsekwensi logisnya sistem belanja rutin dan belanja pembangunan tidak dikenal lagi. Sistem yang baru tersebut kemudian nomenklatur-nya secara umum lebih dikenal dengan penyebutan belanja Kementerian/Lembaga (K/L).

Pos-pos penggunaannya sudah ditetapkan sedemikian rupa yaitu terdiri dari pos belanja pegawai, pos belanja barang, pos belanja modal, pos belanja sosial, pos belanja hutang, pos belanja subsidi, hibah, transfer cash untuk daerah (DAU dan DAK), pos belanja otonomi khusus, dan lain-lain.

Boleh dibilang, sistem yang sekarang dianut sangat rigid pengalokasiannya sesuai pos-pos tersebut. Karena itu, begitu dikaji secara mendalam, ternyata APBN yang sudah seperti itu pengalokasiannya, pemerintah mengalami trade off, yakni tidak lebih dari 10 persen dari total APBN, progam-progam inisiatif baru untuk keperluan pembangunan yang dapat dibiayai.

Hutang dilakukan hanya digunakan untuk menutup defisit anggaran, bukan digunakan untuk sepenuhnya membiayai pembangunan. Apa yang terjadi dengan sistem yang seperti itu? Yang paling mudah kita dapat temu kenali adalah, bahwa akibatnya model pembelanjaan yang dianut sekarang pos belanja rutin atau kita sebut saja pos belanja operasional K/L, porsinya lebih besar daripada pos belanja pembangunan atau pos belanja untuk keperluan investasi dan minim untuk mendukung belanja stimulus ekonomi.

Melakukan rasionalisasi sistem yang berlaku sekarang tidak sederhana. Pertama karena harus mengubah Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kelihatannya upaya ke arah itu sudah akan dilakukan DPR, tapi sampai sekarang posisinya sudah sampai di mana, tidak ketahuan. Konsepsinya seperti apa, juga kita belum mengetahuinya secara pasti.

Kedua, progam reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah juga terkesan maju mundur dan kalau boleh dibilang konsepnya juga tidak jelas. Yang kita tahu malah ada progam renumerasi dan dari segi APBN, berapa pun porsinya, ini juga malah menambah beban anggaran belanja pegawai.

Ketiga, akibat dari faktor pertama dan kedua tadi, praktis belum dapat dilaksanakan, maka yang terpaksa dilakukan pemerintah menjadi bersifat tambal sulam, misal mengurangi pos-pos belanja yang dianggap tidak penting seperti pos belanja perjalanan, pos belanja honorarium atau pos-pos yang lain.

Keempat, kita semua tahu dan pemerintah juga sudah tahu bahwa banyak kegiatan di lingkungan K/L yang bersifat tumpang tindih, baik yang di intra K/L bersangkutan atau di antara K/L. Contoh, progam untuk mendukung pemberdayaan UMKM, hampir di banyak Kementerian memiliki kegiatan pembinaan UMKM di pusat/daerah.

Belum lagi kalau ditelusuri satu per satu, sejatinya banyak kegiatan yang bersifat business as usual. Akibat dari semua itu, pemerintah “terperangkap” dalam budget constrain. Karenanya progam-progam prioritas seperti MP3EI mengalami kendala pembiayaan yang cukup besar.

Sementara kalau dilihat dari keperluannya hampir sebagian besar adalah berupa anggaran untuk belanja investasi. Berhutang, pasti banyak pihak tidak setuju mengingat trauma masa Orba, baik dari kalangan DPR mau pun LSM. Apalagi krisis hutang dan fiskal yang terjadi di zona Euro dan AS telah menimbulkan krisis global baru yang hingga sekarang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir.

Krisis ini, lambat atau cepat akan berdampak global. Karena itu, IMF telah mengeluarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global akan mengalami kontraksi dan dipatok pada angka 3,3 persen untuk tahun 2012. Kita memang mendapat pujian internasional karena Indonesia dinilai berhasil mengelola kebijakan fiskalnya.

Hutang kita jauh berada di batas yang aman (di bawah 30 persen dari PDB, meski pun dalam UU Keuangan Negara masih bisa dilakukan karena batas maksimumnya 60 persen dari PDB) dan defisit anggaran masih terkelola karena masih di bawah 2 persen, meskipun oleh UU yang sama, defisit anggaran masih dimungkinkan sampai maksimum 3 persen dari PDB.

Tidak Maksimal

Namun begitu, faktanya tetap saja bahwa kita tidak maksimal menggunakan dana APBN/APBD untuk membiayai pembangunan karena postur APBN/APBD sudah diformat seperti diuraikan di depan. Pilihannya memang harus mengundang swasta masuk untuk melakukan investasi di bidang infrastruktur dan bidang lain.

Tapi syaratnya iklim investasinya harus diperbaiki dan seluruh beban high cost harus dipangkas dan pelayanan publiknya harus makin efisien. Itu satu-satunya alternatif yang dapat kita lakukan kalau mengundang swasta masuk. Tanpa harus melakukan perubahan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sejatinya pemerintah bersama DPR bisa melakukan rasionalisasi politik anggaran yang lebih based on development asal serius dan sunggguh-sungguh, yakni dengan cara melakukan realokasi dan redistribusi anggaran tanpa harus mengorbankan terlalu besar dengan memangkas belanja operasional.

Misalnya seluruh anggaran belanja modal untuk keperluan pembangunan dikonsolidasikan di satu tangan saja yaitu di Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Sekarang ini pasti terjadi pembiayaan ganda (double account), di satu pihak mengalokasi anggaran di PIP untuk pembangunan infrastruktur, tapi pada saat yang sama pemerintah dan DPR juga mengalokasikan anggaran pos belanja modal di masing-masing K/L (contoh di Kemen-PU dan Kemenhub untuk pembangunan infrastruktur).

Pun seperti DPID yang menjadi “bancaan” DPR. Contoh lain terjadinya pembiayaan ganda adalah dalam pembiayaan untuk UMKM, di satu pihak pemerintah telah menyediakan KUR, tapi di Kementerian UMKM masih ada anggaran dana bergulir yang dikelola oleh LPDB. Pos dana bantuan sosial juga bisa di realokasi karena pada kenyataannya dana bantuan sosial itu lebih banyak bersifat konsumtif daripada produktif.

Dan mungkin lebih tepat digunakan untuk direalokasi menjadi anggaran stimulus kegiatan ekonomi produktif. Misal anggaran subsidi BBM untuk premium, solar dan minyak tanah. Dengan diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional, rasanya lebih tepat jika dana bantuan sosial yang sekarang ini tersebar di banyak K/L direalokasi ke lembaga pengelola yang dibentuk.

Masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR jika mau dan serius melakukan rasionalisasi anggaran untuk bisa memperbesar alokasi anggaran pembangunan. Dengan cara seperti itu, minimal akan bisa mencapai angka 15-20 persen dari total APBN/APBD yang bisa dialokasikan untuk membiayai anggaran pembangunan di negeri ini.

Dana APBD yang disimpan di perbankan ternyata masih cukup besar. Nilainya puluhan triliun rupiah dibiarkan menganggur, belum lagi bunga yang diterimanya. Dana Abadi Umat di Kementerian Agama adalah besar sekali dan lebih baik dana itu dimasukkan juga ke basket anggaran pembangunan.

Yang seperti ini adalah rawan terhadap terjadinya moral hazard. Oleh karena itu sekarang momen yang tepat untuk melakukan perubahan di politik anggaran nasional. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang. Rencana pembangunannya hebat, tapi tidak didukung anggaran yang cukup. Kita harus bersikap “jer basuki mawa bea” agar bisa membangun negeri ini dengan berhasil.

Kita geser pola penganggaran yang akhirnya hanya melahirkan postur APBN/APBD yang bersifat konsumtif ke arah pola anggaran yang bersifat investatif produktif dan stimulatif. Semangatnya tetap berbasis pada sistem single budget, berbasis kinerja dan bebas korupsi. Sekarang ini sudah berbasis kinerja tapi realitasnya konsumtif dan korup. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS