Cuaca Ekstrim dan Tata Ruang Kritis
Oleh: Efendy Tambunan

Ilustrasi
BANJIR besar yang melanda Jakarta 17 Januari 2013, dampaknya sampai ke Bundaran HI Jalan Thamrin dan Sudirman. Tak ubahnya seperti sungai. Banjir di pusat bisnis Jakarta sangat mengganggu warga kota Jakarta dan pelaku bisnis.
Menurut BKMG, awan tebal yang mendatangkan banjir di Jakarta bersumber dari pusaran angin di Samudera Hindia yang menarik seruak dingin (cold surge) dari Siberia. Konsentrasi awan tebal menurut BKMG akibat pertemuan udara dingin dari Siberia dan udara hangat wilayah tropis yang dipengaruhi udara dari Australia yang sedang mengalami musim panas ekstrim.
Menurut sejarah, geomorfologis wilayah Jakarta (Batavia) adalah daerah rawa dan merupakan dataran rendah. Banjir sudah sering terjadi aejak dari zaman Kolonial Belanda hingga saat ini. Pemerintah Kolonial Belanda berupaya mengurangi banjir ke wilayah Jakarta dengan membangun Bendungan Katulampa, Kanal Barat dan sejumlah Volder.
Tragisnya, sejak Pemerintah Kolonial Belanda hengkang dari Batavia hingga sekarang, tidak ada perbaikan sistem drainase yang signifikan. Warisan sistem drainase zaman penjajahan Belanda tetap menjadi andalan pada saat geomorfologi Jakarta sudah berubah menjadi hutan beton.
Dari tahun 1982 sampai tahun 2003, tim peneliti dari Jurusan Teknik Geodesi ITB melakukan penelitian levelling di Teluk Jakarta. Hasilnya, permukaan laut rata-rata naik 20 cm dan permukaan tanah turun sekitar 1 meter. Jakarta Utara mengalami penurunan terbesar sekitar 1,5 meter. Naiknya permukaan air laut dan turunnya permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh pemanasan global dan eksploitasi air tanah besar-besaran.
Dampak Banjir
Bencana banjir di Jakarta bersumber dari naiknya permukaan laut Teluk Jakarta, penurunan pemukaan tanah, hancurnya tata ruang Jabodetabek dan meningkatnya intensitas curah hujan. Cuaca ekstrim turut menambah bencana banjir di Jakarta.
Pada zaman orde baru, semua kajian dan rencana mencegah banjir sudah dilakukan dengan baik tetapi tidak satupun terealisasi atau hanya diatas kertas. Bendungan dan sistem drainase perkotaan Jakarta yang tersedia saat ini, sebahagian besar masih warisan zaman penjajahan Belanda.
Permasalahan lainnya adalah mayoritas situ yang berada di wilayah Bogor hingga Jakarta sudah berubah fungsi menjadi permukiman warga. Demikian juga bantaran sungai menjadi perkampungan liar. Sungai semakin menyempit karena desakan perluasan bangunan rumah ke arah sungai.
Selain pertumbuhan permukiman, kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah ke sembarangan tempat menjadi salah satu pemicu pendangkalan sungai dan saluran pembuangan air yang berfungsi sebagai drainase perkotaan. Sampah yang terbuang ke sungai tidak hanya sampah berukuran kecil tetapi juga perabot rumah tangga seperti kasur dan kursi.
Untuk mengurangi dampak banjir, pemerintah harus mengaudit kembali amdal gedung tinggi dan mengharuskan setiap gedung tinggi memiliki sumur resapan. Melakukan normalisasi sungai dan memperbaiki sistem drainase. Selain itu, masyarakat juga harus ikut berpartisipasi mengurangi limpasan air ke jalan dengan membuat sumur resapan dan biopori yang di rawat secara berkala.
Banjir yang menimpa wilayah Jakarta tidak bisa lagi diatasi dengan metode biasa tetapi harus dengan metode revolusioner. Upaya yang harus segera dilakukan adalah mengurangi sebisa mungkin debit air yang mengalir ke wilayah Jakarta dengan membangun waduk raksasa dan banyak situ dari wilayah Bogor hingga Jakarta.
Selain membangun infrastruktur penampungan air hujan, pendekatan kultural kepada masyarakat juga mutlak dilakukan. Pendekatan ini bertujuan mengubah mindset masyarakat bahwa air hujan bukan musuh tetapi sahabat. Karena itu, air hujan harus ditampung dan dipanen untuk dimanfaatkan dan dikonservasi.
Penataan Tata Ruang
Tahun 2000, ruang terbuka hijau (RTH) sekitar 13,8% dan tahun 2012 menyusut drastis dan hanya tersisa 9,8%. Penyusutan drastis area terbuka hijau menyebabkan air hujan yang meresap ke tanah hanya 25%, sisanya melimpas ke sungai dan jalan. Ruang terbuka hijau yang hanya tersisa sekitar 10% menyebabkan wilayah Jakarta sangat rentan terhadap banjir.
Sampai sekarang, tata ruang wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten masih belum ditetapkan sementara pertumbuhan dan perluasan permukiman bergerak tanpa kendali. Warga Jakarta bertanya tanya mengapa tata ruang Jakarta sebagai ibukota negara belum ditetapkan? Diduga, lamanya tata ruang Jakarta ditetapkan karena banyaknya tarik menarik kepentingan antara elit politik dan pelaku bisnis.
Pemerintah Provinsi dan DPRD harus mempunyai keberanian untuk segera menetapkan tata ruang wilayah DKI Jakarta dengan terlebih dahulu menerima masukan dari warga Kota Jakarta. Tata ruang Jakarta yang sudah ditetapkan akan menjadi landasan hukum bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menata kembali kota Jakarta, memberikan izin bangunan, melakukan pengawasan dan penegakan hukum. (penulis adalah Dosen Teknik Sipil UKI dan pengamat logistik)