Coretan Noda Hitam Berujung Pada Kuasa Palu Hakim

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

WALAU rasa kebencian atas kejahatan korupsi terus menerus digencarkan banyak pihak, namun sepanjang tahun 2013 masih cukup banyak coretan noda hitam ketika berujung pada kuasa palu hakim. Tak perduli amarah dari sudut mana pun, majelis hakim nota bene yang mulia tetap saja menjatuhkan vonis bebas bagi seorang koruptor seperti yang “dikuasa-palukan” hakim itu terhadap Sudjiono Timan (ST) buronan terpidana korupsi.

Saat divonis di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) ST berstatus buronan sehingga persidangannya digelar secara in absentia dalam perkara korupsi BPUI yang merugikan negara Rp 369,4 miliar dan USD 178,9 juta. Putusan kasasi MA saat itu menghukum ST selama 15 tahun penjara. Namun pemenjaraan itu tetap saja tidak diterima oleh ST sehingga mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Pada 31 Juli 2013 MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) tersebut. Hasilnya ST divonis bebas. Dalam sidang PK itu hanya Hakim Agung Sri Murwahyuni seorang diri yang menolak vonis bebas dengan mengajukan dissenting opinion. Sedangkan hakim agung lainnya sepakat mengabulkan “kemauan” terpidana dibebaskan. Meskipun sudah ada PP.N0.99/2012 tentang pembatasan remisi bagi narapidana (Napi) korupsi, terorisme dan narkoba namun sejumlah koruptor kakap masih tetap saja berhasil mendapat remisi untuk lebih cepat keluar dari tenggang waktu lamanya hukuman sesuai putusan hakim.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin menerbitkan Surat Edaran (SE) No. M.HH-04.PK.01.0506 Tahun 2013 ter-tgl 13 Juli 2013.yang menyatakan bahwa PP No.99/2012 itu berlaku untuk Napi yang putusannya berkekuatan hukum tetap (incrah). Tanpa disadari tentu saja SE ini dapat dinilai sebagai upaya kompromi dan belas kasihan terhadap para koruptor sehingga diasumsikan jauh dari semangat pemberantasan korupsi.

Lihat saja faktanya, hingga menjelang akhir tahun 2013 sejumlah kasus korupsi kelas kakap seperti bail out Bank Century, Cek Pelawat Pemilihan Deputi Gubernur BI dan proyek Hambalang belum berhasil dituntaskan hingga aktor utamanya meski sejumlah pelaku sudah diadili bahkan telah dijebloskan ke penjara. Kasus korupsi dana Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dan Rekening Gendut Jenderal Polisi bahkan tidak tersentuh di tahun 2013 ini. Parahnya lagi, sedikitnya masih ada 40 koruptor yang buron di dalam mau pun di luar negeri atau belum dapat ditangkap kejaksaan meskipun sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu beberapa putusan perkara korupsi meskipun sudah divonis di tingkat kasasi hingga kini pelakunya belum dieksekusi pihak kejaksaan sebagaimana yang dialami I Gede Winasa mantan Bupati Jembrana yang telah divonis 2,6 tahun penjara oleh MA pada 26 Juni 2013 namun tetap saja masih sempat cukup lama berleha-leha di alam kemerdekaannya. Begitu juga soal kejahatan korupsi APBD 2004 di Cirebon.

Meski pada tahun 2003 lalu MA telah menolak kasasi ke 21 terdakwa mantan anggota DPPRD Kota Cirebon periode 1999-2004 itu, namun Kejari Cirebon tidak juga otomatis melakukan eksekusi. Parahnya lagi, nyatanya kejaksaan masih punya piutang yang menjadi hutang tugas karena belum juga mengeksekusi uang penggati dalam perkara korupsi sebesar Rp 12761.269.954.983.50 dan USD 290.408.669.77. Sumber Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Auditorat Utama Keuangan Negara I di Jakarta No.57/Hp/XIV/07/2013 tanggal 2 Juli 2013 adalah tentang piutang kejaksaan posisi per 30 Juni 2012 adalah hutang tugas Kejagung, Kejati dan Kejari di Jakarta dan Jawa Barat.

Ironisnya lagi, meski telah diputus bersalah dalam kasus korupsi dan menjalani pidana namun, sejumlah mantan anggota DPR tetap bisa menerima dana pensiun seumur hidup.

Mantan anggota DPR berstatus Napi namun masih diberi dana pensiun seumur hidup di antaranya Panda Nababan dari Fraksi PDIP terpidana kasus Cek Pelawat, Arsyad Syam dari Fraksi Partai Demokrat terpidana kasus proyek pengadaan PLTD Sungai Bahar Jambi tahun 2004, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi PAN terpidana kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, Muhammad Nazaruddin dari Fraksi Partai Demokrat terpidana kasus Wisma Atlet dan Angelina Sondakh dari Fraksi Partai Demokrat terpidana kasus proyek Hambalang dan proyek pendidikan.

Uniknya dana pensiun bagi mantan anggota dewan ini diatur UU No.12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Nergara serta bekas anggota Lembaga Tinggi Negara. Uang pensiun juga diberikan kepada anggota dewan yang diganti atau mundur sebelum masa jabatannya habis. Lebih memalukan lagi karena selain menerima dana pensiun, koruptor di Indonesia ternyata masih bisa memegang jabatan publik. Ini terjadi di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Muhammad Syukur Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar adalah Napi korupsi yang telah dihukum 4 tahun penjara oleh MA pada 19 Agustus 2009.

Masih ingat Eddy Tansil (ET)…? Selama 15 tahun distatuskan sebagai buron namun keberadaan pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa ini masih saja misterius. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang Jakarta pada 4 Mei 1996 ditengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang negara sebesar 565 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,5 triliun sesuai kurs saat itu. Dana itu dia keruk .melalui kredit Bank Bapindo atas nama perusahaan Golden Key Group. Akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara denda Rp 30 juta membayar uang pengganti Rp 500 miliar dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun.

Namun baru beberapa bulan meringkuk dalam sel ditengah menjalani hukumannya berhasil melarikan diri. Sekitar 20 petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa para sipir itu membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri. Merasa “dipecundangi” Eddy Tansil, pada 29 Oktober 2007 Kejagung, Departemen Hukum dan HAM dan Polri dalam satu wadah langsung membentuk Tim Pemburu Koruptor (TPK) dengan tekad segera menangkap ET. Hasilnya..? Lima belas tahun berlalu ET belum juga ditemukan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS