China Saja Sanggup Bermusyawarah dan Mufakat
Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
SENANG mendengar berita yang dlansir beberapa media nasional bahwa para pemimpin China sedang bermusyawarah untuk mufakat membahas tentang reformasi ekonomi sepuluh tahun ke depan. China yang tidak beridiologi Pancasila saja sanggup menjalankan tugas kenegaraannya dengan cara musyawarah. Sangat luar biasa para pemimpin China mengurus negaranya.
Reformasi yang akan dilakukannya pasti punya tujuan yang jelas dan misi yang lebih terukur untuk memperbaiki kinerja perekonomian China. Pasti ada kebutuhan besar yang diperlukan China dengan rencana reformasinya. Jangka waktu 10 tahun ke depan yang diperlukan juga pasti mengandung banyak hal yang harus dilakukan oleh China dalam kebijakan ekonominya agar negeri tirai bambu tersebut dapat mengatasi berbagai situasi yang menghambat laju pertumbuhan ekonominya akhir-akhir ini.
Mereka terus memutar otak dan bekerja keras bersama-sama di antara para pemimpinnya demi kepentingan nasional, demi kepentingan rakyat. Catatan ini mengingatkan kepada kita sebagai bangsa bahwa Indonesia juga perlu segera bergegas melangkah untuk juga dapat melakukan reformasi ekonominya dengan semangat musyawarah mufakat sebagai salah satu prinsip demokrasi Pancasila yang kita anut.
Reformasi ekonomi Indonesia mutlak diperlukan agar bangsa dan negara ini dapat melakukan re-orientasi pembangunan ekonomi kearah yang secara fondamental tidak “melawan arus/bersifat paradoks dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Reformasi ekonomi yang diperlukan negeri ini adalah harus bersifat inklusif, karena hal ini selaras dengan semangat yang diatur dalam ayat (1) pasal 33 UUD 1945.
Jika alur ini diikuti, maka peran usaha kecil menengah dan koperasi menjadi sumber penggeraknya, Re-orientasi ini juga harus menegaskan peran asing dalam pembangunan ekonomi agar tidak terus terjadi polemik yang tidak produktif di dalam negeri, tanpa harus menafikkan globalisasi.
Reformasinya sudah pasti harus menjawab masalah daya saing karena tujuan jangka panjang dari proses pembangunan ekonomi yang dijalankan akan bermuara pada terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara menyeluruh. Negara ini tidak bisa dijalankan dan diurus secara “ad-hoc” berdasarkan semangat “waton nyambut gawe”.
Kalau diperhatikan, sejatinya bangsa ini sudah bisa menempatkan posisinya bahwa bekerja itu adalah sebuah kebutuhan. Berkarya dan bermanfaat bagi yang lain adalah bekal sebagai pencipta kekayaan yang bersifat material dan spiritual bagi dirinya, keluarga dan lingkungannya serta bagi kepentingan bangsa dan negara.
Bangsa ini sebenarnya telah berhasil tumbuh sebagai bagian dari komunitas kreatif dan inovatif dalam membangun kedaulatan dan kemandiriaanya sebagai homo economicus. Ada atau tidak ada afirmasi kebijakan dan progam pemerintah, mereka akan terus berusaha untuk bekerja dan berkarya.Idiologi mereka adalah bekerja dan berkarya.
Dalam konteks yang demikian, reorientasi yang patut dijalankan adalah merajut kembali harmonisasi hubungan antara penguasa dengan rakyat. Pendekatan inklusif berarti menempatkan posisi rakyat bukan hanya sebagai obyek tetapi harus ditempatkan sebagai subyek pembangunan sekaligus sebagai penggerak dalam pprosesnya.
Pemerintah menciptakan lingkungan yang kondusif agar bakat, kemampuan kreatif dan inovasinya terfasilitasi dengan baik. Para pemimpin bangsa ke depan juga tidak luput dari upaya mereformasi diri dalam sikap dan tindakannya agar tidak bersifat “eksklusif” mengelitkan diri dalam kelompok yang narsis, melakukan perselingkuhan politik dan bahkan perselingkuhan ekonomi dengan pemodal asing hanya sekedar mencari “kenikamatan sesaat” untuk kepentingan diri dan kroninya dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar yaitu kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. ***