Site icon TubasMedia.com

Bila Pejabat Tebar Janji

Loading

Oleh : Bambang Setiyono

Ilustrasi

Ilustrasi

SUATU hari menjelang subuh, aku dibangunkan tetangga. Tergopoh, ia mengatakan, “Ada sejumlah rumah roboh diterjang ombak.” Demikian, morning news yang aku terima. Buru-buru aku ingin pergi ke sana. Ke Tambak Lorok, sebuah pemukiman nelayan di pesisir utara Kota Semarang. Di sana terlihat sejumlah rumah roboh, porak-poranda diterjang murka laut. Angin Barat rupanya sedang berulah; sementara pagi itu, air rob pun masih merendam sebatas betis, sedikit di bawah tempurung lutut kaki kita.

Menyelinap, kutemui seorang korban bencana. Dia lemah, miring terbaring. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya. Hanya setetes air bening, meluncur jatuh dari kelopak mata kuyunya. Dan, tiba-tiba kedua tangan tuanya menggapai, memelukku. Hening seketika, terguguk kami berdua, terjebak haru bersama-sama. Astaghfirullah al Adziim..! Batinku seolah meronta, “Gusti, mengapa yang lemah yang tertimpa musibah. Bukankah Engkau tahu, mereka tak punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Mereka miskin, kendati berada di ujung negeri yang kaya raya….?!”

Beberapa saat kemudian banyak pejabat pada datang. Rame-rame melihat musibah, tanya sini, ambil gambar sana. Seperti semacam ritual, mereka lalu dikerubutin wartawan. Bla bla bla …! tebar-tebar janji, lantas pergi. Mereka ada tapi tidak berada, mereka tahu tapi belum membantu. Aku jadi teringat pertanyaan banyak orang, di luaran sana. “Apa benar, kalau konon sudah tak nampak lagi ke-Indonesia-an kita?”. Ketika, rasa keadilan masih saja berwujud wacana, dan kesejahteraan rakyat, nyaris tak terjawab, kapan akan merakyat.

Inikah keseharian kita dalam ber-Bangsa, ber-Negara? Kita masih mudah berjanji, tapi tak mudah menepati. Negeri ini kaya pejabat, tetapi miskin pemimpin. Banyak politisi, tapi sulit menemukan negarawan. Banyak sekolahan, tapi gagal memberi pembelajaran. Karena di luar sana, yang laku jual adalah praktek transaksional, perilaku jual-beli; tarik-ulur, yang tentu bukan ilmu luhur; yang diajarkan di sekolah.

Bung, kampung kita tertimpa bencana. Saudara kita, lemah terhimpit masalah. Tetangga kita sehari-hari hidupnya susah. Masihkah kita diam? Tentu tidak, bukan..? Anda benar, kita mesti hadir di sana. Karena yang dibutuhkan adalah saling asah, asih, asuh di antara kita. Awali dengan niat ibadah, lakukan dengan ikhlas, landasi dengan kasih dan tunjukkan perhatian kita dengan senyum, salam dan sapa. Karena hal itu, akan memberi kekuatan batin baginya dan kita, dalam berbagi kebajikan pada sesama. Ini perilaku yang barangkali masih patut kita kembangkan. Setidaknya sekarang, ketika kita belum tahu pasti, entah di mana keberadaan Negara.

Bung.., pemimpin mesti melayani rakyatnya; bukan malah sebaliknya, rakyat melayani pemimpin. Sebab domba, tidak menggembala pangon-nya, tetapi alam mengajarkan, bahwa penggembalalah yang mesti angon domba-nya..! Jadi, kalau pemimpin tidak hadir paripurna, ketika rakyat membutuh-kannya, tidakkah di antara rakyat dapat saling membantu sesamanya..? Atau kita mesti terpaku, menunggu kerelaan pejabat, yang di banyak tempat, bahkan lebih sering hanya diwakili, oleh sekadar kehadiran mie instan dan air kemasan belaka. ***

Exit mobile version