Berorientasi Kepada Pragmatisme
Oleh: Fauzi Aziz
DI abad ke-21 ini, dunia dihadapkan ke berbagai peristiwa politik dan ekonomi dengan intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan dinamika dan fenomena yang berlangsung.
Isu perang dingin sudah berakhir. Kini muncul istilah perang proxi. Salah satu maraknya perang proxi, adalah dikapitalisasi melalui instrumen canggih, yakni teknologi digital. Tak pelak sampai pada tataran diplomasipun bisa dihantarkan melalui media teknologi informasi yang banyak digunakan para pemimpin dunia.
Orientasi manusia dan para pemimpin dunia untuk mewujudkan impiannya menuju dunia yang damai dan meciptakan kesejahteraan dan kemakmuran yang lebih adil menghadapi berbagai tantangan berat akibat konflik kepentingan, nyaris tak pernah padam karena dunia dipimpin atas dasar kepentingan politik dan ekonomi.
Ini adalah realita yang kita hadapi, dimana kepentingan politik dan ekonomi selalu menjadi headline pada peristiwa dunia dalam berita.
Keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah peristiwa politik dan berdampak pada kehidupan ekonomi.
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45 adalah merupakan peristiwa politik dan sepak terjang kepemimpinannya selama 4 tahun ke depan pasti akan memberikan dampak pada kondisi perekonomian dunia. Dampaknya bisa positip dan bisa pula negatif.
Dalam perjalanan waktu, jika kita mencermati perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia dan di Indonesia, mengalami berbagai kon disi dan permasalahan yang bisa dianggap sebagai tantangan.
Kemakmuran adalah cita-cita kebangsaan yang akan kita wujudkan dan kemakmuran bisa dikatakan sebagai bentuk ekuitas sebuah bangsa dan negara di manapun sebagai aset neto.
Hanya saja, membangun ekuitas bangsa selalu menghadapi tantangan. Paling nyata, tantangan yang harus dihadapi adalah terjadinya “dis-orientasi” dan “dis-ekualibrium”. Tantangan dis-orientasi dalam kekinian sebagai contoh di Indonesia adalah dalam hal tata kelola politik yang semula oleh founding fathers diharapkan menjadi negara yang beridiologi kebangsaan yang kuat, kini menjurus lebih berorientasi kepada pragmatisme.
Pulau-pulau kecil terluar yang sempat diwacanakan untuk disewakan pada asing sebagai contoh adalah cermin bahwa Indonesia makin dalam terjebak pada isu pragmatisme. Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan kecil, baik yang berpenghuni atau tidak, adalah ekuitas milik bangsa dan negara yang harus diurus dengan baik.
Para pemimpin bangsa tidak boleh kehilangan orientasi bahwa karena pertimbangan pragmatis, pulau-pulau kecil akan “dijajakan”. Dis-orientasi semacam ini boleh jadi menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI. Jadi memberdayakan Indonesia dalam segala dimensinya, baik politik, ekonomi dan budaya tidak boleh kehilangan orientasi akibat para pemimpin kita “terperangkap” pada pusaran globalisasi dimana pragmatisme menjadi acuan utama mengelola dan mengurus negeri ini.
Oleh sebab itu, NKRI dan seisinya sebagai ekuitas milik bangsa dan negara harus diurus dengan baik. Jangan sampai para pemimpin kita asyik hanya bermain sebagai layaknya “petugas juru gadai” karena “kehabisan akal” sehingga kalau melihat ada aset menganggur, pikiran pragmatismenya muncul, kenapa tidak dilepas saja atau dikontrakkan saja. Serahkan saja kepada para kapitalis, kita terima beres saja hasilnya.
Frasa ini muncul di kalangan masyarakat dan pasti akal warasnya rakyat akan berkata bahwa para pemimpin ini kok seperti kehilangan orientasi.
Di rumah tangga sendiri maupun perusahaan sekalipun kita masih mikir-mikir jika akan menggadaikan aset kita karena merupakan ekuitas yang diperoleh dengan susah payah.Dalam fenomena sema cam itu,maka pragmatisme da pat berpotensi membawa ke pemimpinan para pemimpin bangsa ini mengalami ganggu an disorientasi.
Karena itu, mekanisme check and balances diperlukan dalam sistem demokrasi supaya kita selamat dan tetap menjadi bangsa dan negara yang berdaulat penuh.
Permasalahan terjadinya dis-ekualibrium, dunia kini menghadapi situasi ini, tak terkecuali Indonesia. Eco system politik, ekonomi, budaya,dan lingkungan secara nyata menghadapi situasi ketidak seimbangan. Ketidak seimbangan ini tentu menjadi tantangan dan sekaligus ancaman. Semua bangsa dan negara di dunia mencoba berfikir ulang untuk menjawab tantangan dan ancaman tersebut. Dunia mengalami “ketakutan” sendiri ketika dengan susah payah berhasil membangun sebuah ekuitas, kini mereka harus rela berkorban memotong kue sebagian ekuitasnya membiayai berbagai bentuk dan ragam ketidak seimbangan yang terjadi dewasa ini.
Caranya dengan menyisihkan sebagian ekuitasnya dinyatakan sebagai cada ngan siaga untuk memitigasi berbagai resiko akibat terjadi nya ketidak seimbangan.
Pemanasan global dan perubahan iklim saat ini menjadi masalah besar dihadapi bangsa-bangsa di dunia karena lingkungan hidup kita sudah rusak parah akibat gagal kelola lingkungan hidup dan juga lingkungan sosial.
Dalam menghadapi persoalan ketidak seimbangan ini, yang sejatinya berhak menjadi “polisi” dunia tidak hanya negara besar dan maju saja, tetapi semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang mempunyai kedudukan sama.
Semua negara di dunia harus menjadi pemangku kepentingan yang ikut bertanggung jawab mengatasi masalah ketidak seimbangan ini dan harus tetap tidak boleh kehilangan orientasi sehingga kebersamaan menjadi sirna ditelan bumi dan akhirnya terperosok rame-rame dalam kebangkrutan dan kehancuran. (penulis adalah pemerhati masalah sosial dan ekonomi).