Belajar Bersabar
Oleh: SM. Darmastuti

Ilustrasi
ADA pepatah mengatakan begini: Berikan Kail (Pancing) pada orang yang menginginkan ikan, maka dia akan dapat makan ikan setiap hari. Jangan beri dia ikan, karena dia akan meminta lagi ketika ikan yang kau berikan habis dia makan. Pepatah itu mengandung arti bahwa ketika kita menolong seseorang, hendaklah kita dapat menolongnya dengan memberi solusi atau peluang agar akhirnya dia dapat menolong dirinya sendiri, dan mandiri.
Saya yakin pepatah itu disarikan oleh para bijak yang mampu melihat bahwa sebenarnya Tuhan juga memberlakukan umatnya seperti itu. Jangan dikira jika kita memohon ‘kesabaran’ kepada Tuhan, Beliau akan memberi kita kesabaran kontan. Tidak! Tuhan hanya memberi ‘peluang’ pada kita untuk menjadi sabar dengan cara melatih kita.
Kesabaran yang kita minta akan kita miliki jika peluang yang berupa latihan ‘menghadapi masalah’ itu kita ambil. Demikian pula ketika kita memohon agar dikuatkan ‘kepercayaan’ kita pada-Nya, maka ‘peluang’ untuk memiliki kepercayaan yang kuat sebagaimana kita inginkan, akan diberikan pada kita pula. Selebihnya terserah kembali kepada kita, apakah peluang itu akan kita ambil atau tidak. Bagi Tuhan hanya ada satu kata ketika Beliau mengabulkan apa yang kita minta: Take it or Leave it (Ambil atau Tinggalkan).
Memang, perlu kita yakini kembali bahwa peluang untuk menjadi sabar sesungguhnya terus menerus diberikan Tuhan pada kita sesuai apa yang kita mohonkan. Sayangnya peluang itu seringkali tidak kita tanggapi dengan rasa positip, karena kita berharap ‘kesabaran’ yang kita mohon, akan langsung dikirim-Nya via langit menyusup ke dalam jiwa kita, dan bukan lewat peluang yang kemudian diujikan.
Sangat bermanfaat apabila kita menyimak definisi sabar yang ada dalam buku Sasangka Jati.
Sabar itu artinya berhati lapang, kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi bukan orang yang mudah putus asa …
Kesabaran itu ibarat suatu minuman jamu yang pahit sekali, yang hanya dapat diminum oleh mereka yang teguh budinya, tetapi dapat menyembuhkan kesusahan dan penyakit.
Seorang teman dari Arizona yang berkesempatan menginap di rumah, pada suatu pagi melihat saya meminum jamu ‘paitan.’ Dia meminta setengah cangkir karena ingin mencoba merasakan Javanese Herbal yang sekarang mulai terkenal di negeri Paman Sam. Saya berikan dia setengah cangkir, dan tanpa ragu-ragu dia minum tapi kemudian wajahnya cengar-cengir.
Dia segera meraih segelas sari jeruk yang ada di meja dan meminumnya guna mengusir rasa pahit. Dia berkata bahwa jamu yang dia minum rasanya tidak enak, pahit sekali. Dia bahkan berceramah bahwa rasa pahit yang berlebihan bisa-bisa akan merusak liver. Seterusnya dia menyatakan keheranannya kenapa saya minum jamu itu tanpa ekspresi kepahitan, tapi kemudian menyimpulkan sendiri bahwa latihan minum pahit akan membuat orang tahan pahit.
Kami kemudian tertawa geli, karena ganti saya katakan rasa pahit sebenarnya diperlukan juga oleh tubuh, dan jamu ‘paitan’ menurut lidah saya tidak lebih pahit dibanding bir hitam yang jelas akan merusak liver jika diminum berlebihan karena mengandung alkohol, meskipun diyakini oleh orang-orang Jerman sebagai minuman efektif untuk membersihkan ginjal. Nah! ….
Sisi-sisi positif dari kejadian sehari-hari memang seringkali berisi petuah dan ajaran kehidupan. Sabar diupamakan sebagai rasa pahit yang ada dalam jamu/obat, tetapi akan menyembuhkan penyakit yang meminumnya. Hal ini sebenarnya mengingatkan kita semua bahwa Tuhan senantiasa memberi apa yang kita minta, namun wujud pemberian-Nya selalu dalam bentuk peluang yang harus kita putuskan sendiri untuk kita ambil atau tidak.
Mampukan kita melatih diri untuk meraih peluang itu? Dan apa yang harus kita lakukan? Saya ingat peringatan Tuhan dalam film ‘Evan Almighty’ ketika Evan menanyakan pertanyaan serupa pada Tuhan. Jawaban Tuhan adalah: ‘one ARK’ singkatan dari ‘one Act Random Kindness at a time’ yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah: satu kebaikan kecil yang sering kita lakukan setiap waktu. Ini persis seperti pengertian tentang sabar yang ada dalam buku Sasangka Jati:
Sabar itu bukan niat yang hanya terhenti pada pengharapan atau perkataan, tetapi bertindak sesuai dengan kemampuan secara teratur, teliti, hingga tercapai apa yang menjadi cita-citanya.
Nah, mari kita cermati, berapa banyak peluang diberikan Tuhan kepada kita saat ini agar kita dapat melaksanakan semua yang diajarkan-Nya, dan berniatkah kita meraih peluang itu? Ibarat kail sudah di tangan, kini tinggal selangkah lagi kita dapat memiliki ikan: kemauan untuk memancing.
Penulis tinggal di Jogjakarta