Apakah Negara Sudah Berstatus Gawat Darurat Korupsi?

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

APAKAH saat ini negara kita sudah dapat dikategorikan statusnya sebagai negara gawat darurat korupsi? Sebab pada kenyataannya disemua level perangkat jabatan di badan eksekutif, legislatif dan judikatif bersama kolusinya di kalangan swasta tak ada lagi yang luput dari kejahatan yang sangat amat berbahaya ini.

Kerawanan sosial, baik itu berdampak kerusuhan massal antar sesama warga, mau pun semakin ganasnya tindak kriminalitas yang keseluruhan berlatar belakang statistik pembengkakan jumlah tingkat pengangguran, itu semua hanyalah sebagai akibat dari suatu sebab. Penyebabnya tentu saja para koruptor. Triliunan uang negara digerogoti tak perduli berakibat tajamnya kesenjangan ekonomi bahkan sekalipun sudah berada pada tingkat keterpurukan semakin dalam hingga lilitan benang kusut pada lingkup pola strata ekonomi mikro.

Konsekwensi hukuman bagi mereka yang dinyatakan terbukti “merampok” uang negara itu, benar memang dilaksanakan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun sangat disayangkan tak satu pun palu vonis hakim itu menggelegar hingga mampu menimbulkan efek jera atau paling tidak, untuk menciutkan nyali siapa saja yang tadinya berniat korupsi.

Upaya memiskinkan para koruptor itu dimungkinkan mampu menimbulkan efek jera karena kemiskinan menjadi momok. Harta kekayaan hasil rampokan para koruptor itu disita seluruhnya untuk dikembalikan sebagai hak negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai melakukan penyitaan asset mantan Korlantas Mabes Polri Irjen Pol Djoko Susilo berupa tanah, rumah dan mobil dengan nilai keseluruhan ratusan miliar rupiah belum termasuk simpanan uang dolar AS juga turut disita terkait kejahatan korupsi proyek Simulator SIM.

Penyitaan harta kekayaannya itu dilakukan KPK atas dasar perundang-undangan delik pencucian uang. Sayangnya baru hanya untuk seorang Djoko Susilo sedangkan banyak koruptor lainnya hanya berupa hukuman badan (pidana penjara) yang justru tidak maksimal. Akibatnya kejahatan serupa terus saja berlangsung. Maka untuk menghentikannya, tidak ada kata lain selain hukuman mati diganjarkan bagi koruptor.

Semua orang tahu bahwa sampak perbuatan korupsi lebih serius ketimbang akibat aksi terorisme. Korupsi juga lebih sadis daripada pembunuhan berencana.

Pemikiran ini telah pernah mengemuka dalam diskusi “Pilar Negara: Penegakan Hukum terhadap Koruptor”, di gedung MPR/DPR, Jakarta. Saat itu tampil sebagai pembicara adalah pengamat hukum pidana Akhiar Salmi dan Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid.

Menurut Akhiar Salmi, pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor niscaya menimbulkan efek jera yang luar biasa. Karena itu, tindak korupsi di Indonesia tidak akan lagi merajalela seperti sekarang. “Jadi, saya yakin betul, kalau hukuman mati diberlakukan, korupsi di Indonesia akan berkurang,” tegasnya.

Salmi menjelaskan, motif yang melatari perbuatan korupsi adalah kemewahan hidup. Karena itu, orang terkesan tidak takut berbuat korupsi. Terlebih lagi sanksi hukum kurungan badan bagi koruptor selama ini sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.

“Tetapi dengan sanksi hukuman mati, koruptor tidak mungkin dapat menikmati kekayaan hasil korupsi. Bagaimana mungkin koruptor bisa menikmati kekayaan kalau dia dihukum mati? Jadi, dengan sanksi hukuman mati, orang niscaya berpikir untuk melakukan korupsi,” ujar Salmi.

Menurut dia, umumnya mereka yang melakukan korupsi tidak memikirkan bahwa perbuatan itu menyengsarakan banyak orang. Mereka hanya berpikir bahwa perbuatan itu memungkinkan mereka dapat menikmati hidup secara mewah.

Karena itu pula, meski gerakan pemberantasan korupsi relatif gencar, praktik korupsi tidak lantas menjadi surut. Apalagi sanksi hukum bagi koruptor juga selama ini tidak efektif menjadi disinsentif. “Dalam penegakan hukum itu, kan, ada sistem. Aparat penegak hukum dan koruptor saling terkait. Jadi, kalau aparat penegak hukum tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap koruptor, maka efek jera tidak akan muncul,” kata Salmi.

Salmi mengakui, atas desakan masyarakat, DPR mencantumkan pasal hukuman mati dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Tetapi, menurutnya, pasal hukuman mati untuk koruptor itu sekadar basa-basi. “Sebab, pasal tersebut menyebutkan bahwa hukuman mati hanya dijatuhkan pada kondisi tertentu. Kondisi tertentu itu kapan?,” katanya.

Sementara itu, Ahmad Farhan Hamid menyatakan sepakat bahwa hukuman mati layak dikenakan terhadap koruptor. “Hukuman mati perlu diterapkan terhadap mereka yang terbukti melakukan tindakan korupsi. Ini perlu untuk memberikan efek jera,” katanya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS