Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi
ANEH tapi nyata. Warga Depok, yang merupakan warga Indonesia yang makanan pokoknya adalah nasi, dilarang untuk makan nasi, walapun hanya satu hari dalam seminggu, yakni setiap hari Selasa. Kontan saja, hal ini mengundang reaksi dan protes keras dari masyarakat. Bahkan, satu koran besar di Jakarta membuat satu sentilan pada rubrik pojoknya, setelah larangan makan nasi, suatu hari nanti akan ada larangan untuk bernafas.
Nasi atau beras, adalah produk kaum petani. Kalau produk kaum petani tidak dibeli masyarakat karena dilarang untuk dimakan, berarti hilanglah mata pencaharian penduduk terbesar Indonesia.
Kalau alasan mengurangi konsumsi beras karena jumlah produk pangan nasional tidak mencukupi, semestinya kaum petanilah yang perlu didorong untuk memproduksi padi yang lebih banyak dengan berbagai pemngetahun baru dan teknologi maju. Di samping itu, pememrintah juga harus melakukan pencetakan sawah yang lebih luas untuk diusahai petani. Sehingga, petanilah yang harus diuntungkan.
Belum lama ini, Pemerintah Kota Depok menerbitkan surat edaran tanggal 10 Februari 2012 yang berisi larangan bagi pedagang makanan di lingkungan kantor pemerintahan untuk menjual nasi setiap hari Selasa. Rencananya, program satu hari tanpa nasi ini juga akan diperluas tidak hanya di lingkungan kantor pemerintahan, tetapi juga kepada semua warga kota Depok. Pedagang nasi dianjurkan menjual makanan yang bahannya bukan beras.
Apabila maksud Pemkot Depok untuk diversifikasi makanan, sesungguhnya tidak tepat. Karena, mengonsumsi nasi sudah menjadi kebiasaan masyarakat bertahun-tahun, sehingga sulit untuk diubah dalam waktu singkat, dengan surat edaran wali kota. Lagi pula lidah dan selera masyarakat sudah terbiasa dengan nasi, sehingga mengonsumsi jenis pangan yang lain, serasa belum makan. Pokonya, untuk bisa bekerja, harus makan nasi.
Perlu Perencanaan
Untuk mengubah kebiasaan warga yang sudah tergantung pada nasi, perlu perencanaan. Untuk itu perlu dilihat dulu bagaimana respons masyarakat, dan juga ketersediaan bahan pangan pengganti yang setara dengan beras, baik harga, jumlah yang cukup, maupun nilai gizinya. Untuk mengonsumsi makanan nonberas, tidak bisa dipaksa, seperti dulu makan bulgur. Perlu juga dijelaskan alasan dan keuntungan mengonsumsi bahan makanan lain tersebut dan mengenalkan jenis makanan nonberas itu secara luas.
Setelah program satu hari tanpa nasi ini diterapkan di lingkungan kantor pemerintahan di Depok baru-baru ini, beragam tanggapan dari masyarakat muncul. Seorang pedagang nasi di Jalan Akses UI, Depok merasa heran dan aneh terhadap kebijakan Pemerintah Kota Depok itu. Menurut dia, aneh jika pemerintah memaksa warganya tidak memakan nasi, walau dalam satu hari.
Ia hanya hidup dari berjualan nasi untuk menopang kebutuhan keluarganya. ”Jika tidak boleh jualan nasi, saya mau jualan apa?” katanya. Walaupun hanya sehari tanpa makan nasi, kebijakan Pemkot tersebut sangat mengurangi pendapatannya. Dia juga mengakui, tidak banyak mengenal jenis makanan nonberas yang bisa diminati konsumennya. ”Sehingga, kebijakan ini memaksa saya tidak berjualan satu hari. Ini namanya menyuruh kami, puasa satu hari, karena tidak ada pendapatan,” katanya.
Pendapat lain memang ada yang mendukung. Diversifikasi pangan memang perlu dilakukan sejak sekarang. Ketergantungan terhadap nasi bakal memunculkan dampak negatif terhadap ketahahan pangan. Namun, warga Depok dari Kecamatan Pancoran Mas itu menyarankan, agar program ini dimulai dari sektor pendidikan usia dini, dari mulai taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Program ini harus dilakukan secara nasional dan terencana. Pemerintah perlu melaksanakan program diversifikasi pangan ini dengan baik, tidak perlu membuat larangan-larangan. Apabila sudah ada kesepahaman antara masyarakat dengan pemerintah, program apa pun yang dirancang akan bisa terlaksana.
Berbagai makanan pokok di daerah juga perlu digalakkan dan dibantu peningkatkan produksinya, seperti tanaman sagu, ubi jalar/ubi kayu, jagung dll. Kalau program satu hari tanpa nasi ini dilakukan sekarang, sama sana Pemkot Depok menyuruh warganya untuk makan pizza dan burger. Apa ada komisinya?***