Ancaman Pemerasan

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

INDONESIA dipandang dunia bak gadis cantik seksi, sangat menggairahkan dan mungkin juga menggemasakan. Pasalnya, negeri ini memang elok dipandang, kekayaannya berlimpah ruah di darat, di laut dan di perut bumi. Apa saja ada. Baik yang berasal dari sumber hayati, nabati sampai mineral tambang semua kita miliki. Dengan demikian nggak salah kalau kita dijuluki negara yang kaya sumber daya alamnya.

Saat dunia mulai mengalami syndrom takut mati berdiri karena krisis pangan dan energi melanda dunia, Indonesia menjadi incaran negara-negara di dunia, ingin ngajak ‘’kawin’’ karena tergiur oleh kekayaan yang dimilikinya sebagai gadis sexy tadi. Sudah sexy, kaya lagi, bak bintang film Holywood saja.

Ngajak kawin sih boleh-boleh saja. Yang penting serius donk, jangan asal-asalan kawin, apalagi sekedar kawin kontrak. Karena itu, sikap yang paling bijaksana sebagai orang tua adalah tidak bersikap good boy, tidak bersikap asal setuju dan at all cost. Kalau orang Jawa selalu menggunakan kreteria B3 (bibit, bebet dan bobot). Inilah hal-hal yang bersifat filosofis dan mendasar sebelum kita mengambil keputusan penting dalam melakukan kerjasama ekonomi dengan negara lain dalam melipat gandakan nilai tambah dari sumber daya alam yang kita miliki sebagai kekayaan bangsa Indonesia.

Kita tidak boleh ceroboh dan gegabah, demi alasan investasi, demi alasan pertumbuhan ekonomi, demi alasan devisa dan pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran, semua bangsa asing di dunia kita ajak besanan dengan kita. Maaf kata, hanya dengan alasan bangsa asing lebih gagah dan perkasa dan sekedar untuk memperbaiki keturunan, kita relakan anak kita yang bernama Indonesia kawin dengan anak negeri bangsa lain.

Mata telinga kita mesti kita buka lebar-lebar untuk memilih calon besan yang baik, yang bertanggungjawab dan tidak memiliki tujuan terselubung (hiden agenda), tetapi sesungguhnya si besan kita yang gagah perkasa itu punya niat tidak baik, yaitu hanya ingin mengusai kekayaan kita, menguras aset-aset berharga yang kita miliki untuk mensejahterakan kepentingan mereka sendiri.

Dunia yang sekarang mengalami krisis pangan dan energi, bahkan dewasa ini beberapa pakar telah membuat perkiraan indikatif bahwa krisis tersebut telah memasuki zona rawan, maka kita harus waspada dari ancaman krisis tersebut. Di saat bangsa ini sedang dilanda krisis kepercayaan, sulit mencapai konsolidasi di tingkat nasional dan bahkan sedang dihinggapi penyakit pragmatisme dan arogansi yang berlebihan, ancaman terjadinya “pemerasan” aset nasional berupa sumber daya alam oleh asing, bukan sesuatu yang mustahil tidak terjadi.

Dan sebelum semuanya terjadi (jangan sampai terjadi), maka kita harus kembali sadar bahwa apa yang kita miliki dan kita kuasai harus kita amankan dan harus dapat kita kelola sendiri untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, untuk menyenangkan anak sendiri sebelum ikut menyenangkan anak orang lain/bangsa lain.

Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Papua harus menjadi bangsa yang terintegrasi, tidak mudah terkooptasi dan dikooptasi oleh kepentingan sesaat dan sempit. Investasi domestik harus diupayakan lebih dominan dari investasi asing. Syukur-syukur bisa mencapai rata-rata antara 40-50% PDB nasional, terutama di sektor pangan dan energi.

Bank-bank pemerintah dan swasta nasional, baik sendiri-sendiri maupun secara kolaboratif, didorong untuk bisa ikut membiayai proyek-proyek favorit di bidang pangan dan energi. Daerah diikutsertakan dalam proyek-proyek favorit tersebut secara langsung, baik dalam pembiayaan maupun pengelolaannya.

Semuanya dikerjakan dalam koridor hukum yang bersifat “memihak” kepada kepentingan nasional dan pengelolaannya tunduk pada azas good governace. Berbesanan dengan asing tidak dilarang dan tidak diharamkan. Tapi karena kita tak begitu kenal secara dekat, maka kehadirannya harus bersifat terseleksi dengan baik, syarat-syaratnya harus terukur dan jelas.

Syarat-syarat tersebut pada dasarnya harus berlaku umum dan tidak diskriminatif. Dan, lagi-lagi kerjasama ekonomi yang kita lakukan harus menguntungkan tuan rumah. Ini logika yang benar dalam setiap kerjasama, meskipun suka dikasih embel-embel win-win. Win-win memang harus diusahakan dan itu yang ideal. Tapi di balik itu, biasanya ada hidden agenda yang dijalankan oleh masing-masing pihak.

Persoalan pangan dan energi adalah issu yang sangat serius, semua negara menganggapnya demikian. Oleh karena itu, sikap kita sebagai bangsa harus sama dan juga serius karena sudah dianggap sebagai ancaman global. Sifat ancaman yang paling ditakuti adalah kalau negara-negara kaya memiliki sumber daya menjadi bersikap pelit atau takut kalau melakukan embargo.

Secara teoritis harusnya negara kita bisa terbebas dari fenomena embargo karena kita punya aset untuk kepentingan ketahanan pangan dan energi. Bersikap “pelit” barangkali boleh juga sikap yang harus kita ambil. Tatanan perdagangan dan investasi global harus dibuat aturan tersendiri, tidak bisa tunduk pada aturan WTO.

Indonesia harus berani mengambil prakarsa di bidang ini. Agenda nasionalnya harus dirancang sedemikian rupa yang menguntungkan kepentingan nasional. Hukum nasionalnya juga demikian. Harus dilakukan penataan kembali secara menyeluruh, kalau kita tidak ingin terbebas dari “Ancaman Pemerasan”.***

CATEGORIES
TAGS