Oleh : Edi Siswoyo

Edi Siswoyo
PASCA pemilihan umum legislatif (pileg) 2014 amnesia poliik mewabah di masyarakat kita. Penyakit gampang lupa itu tidak hanya menyerang warga yang punya hak pilih tetapi juga merasuki warga yang punya hak dipilih (caleg) dan partai politik (parpol).
Maka, ungkapan “kalau sudah jadi, lupa” menjadi hiasan di daun telinga masyarakat. Ungkapan tersebut juga masuk ke dalam genderang telinga Joko Widodo, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Oma Irama, Mahfud MD, Hatta Radjasa, Anis Matta, Wiranto, Yusril Ihza Mahendara, dan Sutiyoso.
Nama-nama tersebut merupakan capres yang telah “dijual” parpol dalam pileg 2014. Mereka–sedikit atau banyak–ikut ambil bagian pada hasil suara yang diperoleh parpol. Menurut hitung cepat lembaga survei tidak ada parpol yang memperoleh suara mutlak. Maka, koalisi parpol menjadi keharusan untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden (pilpres) 9 Juli 2014.
Pembentukan koalisi papol bisa membuat nama-nama capres tersebut berubah menjadi cawapres atau diganti nama lain. Para pemilih harap “maklum” karena dalam koalisi pragmatis dagang sapi “habis manis sepah dibuang” bukan hal yang tabu.
Ada kecenderungan jual beli suara dan bagi-bagi kekuasaan menjadi dasar pebentukan kabinet presidensial dengan multi parpol.Indikasi itu semakin nyata dilihat dan dirasakan pada pelaksanaan pileg 2014 yang banyak diwaranai praktik kotor money politic (politik uang).
Uang dan jabatan poilitik berpotensi sebagai amunisi memenangkan perang (pileg) dibanding akal sehat. Kondisi itu semakin massif terjadi dalam masyarakat kita yang sedang sakit amnesia politik dalam proses demokrasi yang belum matang. Politik itu baik dan mulia–kata filusuf Aristoteles–tidak lagi dihormati. sehingga hasil suara pileg diotak-atik dan dijual belikan untuk pebentukan koalisi parpol. Dalam otak-atik tersebut segala kemungkinan politik bisa terjadi termasuk kemungkinan perubahan–pergantian– nama capres.
Di dalam sistem kabinet presidensial dengan multi parpol, ambisi memenangkan pertarungan perebutan kepentingan politik membuat koalisi dipraktikan sebagai transaksi jual beli suara rakyat dan bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan. Bagaimana format koalisi parpol yang kita harapkan ? Dalam tahun politik sekarang ini masyarakat menaruh harapan besar terhadap pileg yang berlanjut dengan koalisi, pilpres dan kabinet yang akan dibentuk.
Koalisi parpol yang terbentuk dan pasangan capres-cawapres yang akan naik ke panggung pilpres kita harapkan merupakan hasil koalisi substantif berdasarkan ideologi dan platform, bukan koalisi pragmatis transaksional dengan jual beli suara dan bagi-bagi kursi di dalam–kabinet–pemerintahan. Pemerintahan yang terbentuk nanti kita harapkan tetap mencerminkan pluralitas dan kemajemukan Indonesia dengan kebijakan dan kinerja yang pro rakyat. ***