Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
PROGAM P3DN (Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri) sejak Inpres 2/2009 diluncurkan hingga sekarang, sudah berjalan hampir tiga tahun. Sebagian besar kalangan menilai efektifitasnya belum berjalan sebagaimana diharapkan, bahkan ada yang bersikap skeptis antara lain mengatakan progam P3DN hanya omong doang (omdo).
Pemerintah dinilai tidak serius melaksanakan progam ini. Petinggi negaranya tidak konsekwen. Mengajak rakyatnya memakai produk lokal, tapi pejabatnya justru lebih banyak memakai produk impor. Yang membuat bangsa ini menjadi sangat bergantung pada barang dan jasa impor, adalah kebijakan pemerintah sendiri di bidang ekonomi, terutama sejak menjalankan resep IMF yang biasa disebut progam penyesuaian struktural (structural ajusment) progam tahun 1998 untuk mengobati dampak krisis ekonomi.
Pemerintah harus terima apa adanya terhadap opini publik yang seperti itu. Hal yang semacam itu adalah sebuah sudut pandang yang bisa bersifat subyektif dan bisa juga ada nilainya yang bersifat obyektif. Menjawab fenomena ini tidak seperti membalik telapak tangan dan bisa bersifat instan karena banyak aspek yang harus diperbaiki, baik yang berkaitan dengan aspek regulasi, fasilitasi maupun butuh komitmen seluruh komponen bangsa.
Pada sisi lain, P3DN memerlukan dukungan sistem produksi dan distribusi yang efisien karena para pengguna sebagai kelompok sasaran, butuh kepastian bahwa produk dan jasa yang ditawarkan dapat menjawab kebutuhan mereka secara teknis, ekonomis dan sosial.
Sudut pandang mereka adalah value oriented, artinya mereka sangat kritis menimbang-nimbang dan mengkaji nilai produk yang ditawarkan. Masyarakat dan para kelompok sasaran lain memerlukan jaminan kepastian mutu, harga dan delivery yang tepat waktu. Di lapangan banyak fenomena yang menarik. Pertama, para pengguna produk dan jasa sebenarnya sudah tak terlalu peduli apakah yang ditawarkan adalah produk lokal atau impor.
Yang terpenting berdasarkan pertimbangan nilai, para pengguna menemukan apa yang mereka butuhkan. Kedua, jika di pasar dari awal sudah sangat dominan dipenuhi produksi lokal karena sistem produksi dan distribusinya efisien, maka para penggunapun tidak akan banyak menyoal tentang keberadaan barang itu karena berdasarkan pertimbangan rasionalitas dan nilai tertentu merekapun sudah merasa tercukupi kebutuhannya karena kualitas, harga, dan ragam produknya terjangkau kekuatan daya belinya.
Kapan saja dan dimana saja para pengguna akan dengan mudah dan cepat menemukannya. Ketiga, manakala sistem produksi dan distribusi belum efisien dan pada saat yang sama secara across the board pemerintah telah miliberalisasi pasar dalam negerinya sejak 1998, maka akibatnya barang impor yang membanjiri pasar Indonesia tanpa dihambat sedikitpun oleh kebijakan perdagangan yang pro pengamanan pasar dalam negeri karena alasan yang sangat sederhana dan normatif, yakni Indonesia telah menjadi anggota WTO.
Dengan fenomena yang seperti itu, pemerintah yang menginginkan agar progam P3DN-nya dapat berhasil, suka tidak suka harus menata kembali panggungnya melalui berbagai instrumen kebijakan dan progam yang dikuasainya.
Misi peningkatan penggunaan produk dalam negeri spektrumnya ke depan sebaiknya berdaya jangkau lebih luas, termasuk pemanfaatan sumber daya nasional yang lebih optimal seperti hasil riset dan teknologi dan karya inovatif lainnya. Karena itu P3DN konsepnya yang dibangun harus lebih komprehensif. Misi utamanya adalah wealth building, bukan seperti sekarang yang hanya otak atik di seputar pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai fokusnya. ***