251 Vila Bermasalah di Puncak Akan Dibongkar

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

Ilustrasi

BOGOR, (Tubas) – Tidak kurang dari 251 vila di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, melanggar ketentuan mengenai zona peruntukan. Terkait dengan pelanggaran itu, Bupati Bogor Rachmat Yasin menegaskan, pihaknya akan menindak tegas dengan cara membongkar vila-vila tersebut.

Vila-vila itu dikategorikan melanggar ketentuan zona peruntukan, antara lain, berdiri di kawasan hutan lindung, tanah garapan atau tanah negara, tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) dan atau tidak sesuai dengan koefisien dasar bangunan (KDB) serta peruntukan lahan. Hal itu disampaikan Bupati Bogor kepada tubasmedia.com, baru-baru ini.

Menurut Bupati Rachmat Yasin, Pemerintah Kabupaten Bogor tidak akan membiarkan pelanggaran terus berlangsung di kawasan Puncak, meskipun vila tersebut milik pembesar dan atau pejabat negara. Penertiban itu sesuai dengan Keppres No. 114 Tahun 1999 mengenai Penataan Ruang Kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopuncur ) dan PP 34 Tahun 2002, Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 dan Undang-Undang No. 41 tentang Kehutanan.

Perubahan Fungsi

Secara terpisah, Kepala Dinas Pemukiman dan Tata Bangunan Kabupaten Bogor, Ir. Yani Hasan, mengatakan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terjadi perubahan fungsi lahan di kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Cisarua secara signifikan dari tahun 2000 sampai 2008. Luas lahan itu berkurang 74 persen dari 4.918 ha menjadi 1.265 ha. Tanah terbuka hampir tidak ada, dari 4.550 ha hanya menjadi 14 ha, sementara permukiman bertambah 44 persen dari 24.833 ha menjadi 35.750 ha.

Berdasarkan dari data Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (PPPW) IPB, sejak 1972 hingga 2008 sudah 30,36 persen wilayah vegetasi hutan di kawasan Puncak hilang. Dari sebanyak 5.000 vila dan bangunan di Puncak, 1.500 vila tidak memiliki IMB dan 251 vila melanggar aturan zona peruntukan.

Menurut Yani Hasan, pihaknya belum bisa menyegel atau membongkar vila di kawasan Puncak yang melanggar aturan karena masih menunggu keputusan bupati. Terjadinya pelanggaran dalam pembangunan vila dan bangunan lainnya berlangsung sejak 1990-an.

“Kami telah menegur pemiliknya, namun mereka masih membiarkan juga, belum mengajukan peningkatan status lahan. Padahal, itu dapat dilakukan, misalnya, mengurus dari Hak Guna Usaha (HGU) menjadi Hak Guna Pakai (HGP) dan menjadi Hak Guna Bangunan (HGU),” kata Yani.

Kepala Bidang Sat Pol PP Kabupaten Bogor, Edi Hidayat, mengatakan, pihaknya belum bisa menertibkan dan membongkar vila bermasalah atau liar di kawasan Puncak karena belum ada surat perintah dari bupati. “Namun, kami juga sudah punya rencana untuk itu dalam waktu dekat,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Ir. Zairin mengatakan, luas lahan kritis di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopuncur) mencapai 83.129,66 ha lebih. Sekitar 27 ha lahan kritis berada di kawasan Bogor.

Administratur Perum Perhutani Kelompok Pemangku Hutan (KPH) Bogor, Hezlisyah Siregar, menjelaskan, lahan kritis di wilayah Bogor, Cianjur, dan Sukabumi 3.000 ha. “Itu yang ada di kawasan hutan lindung saja. Hingga kini kita sudah merevitalisasi lahan kritis 1.700 ha. Sisanya akan kita hijaukan kembali dengan target tak ada lagi lahan kritis di kawasan hutan,” katanya.

Lalu Lintas Macet

Sementara itu, beberapa tahun belakangan ini, Jalan Raya Bogor, Ciawi, dan Sukabumi (Bocimi) mendapat julukan “tiada hari tanpa kemacetan”. Hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain, ruas jalan sudah tidak seimbang lagi kepadatan kendaraan dan tonasenya, seperti tronton peti kemas, tronton tangki minuman curah dan tronton pengangkut pasir, yang beratnya mencapai 50 ton. Ini pula salah satu penyebab jalan utama itu rusak.

Belum lagi angkot, bus mini, dan bus saling serobot serta ngetem di sembarang tempat yang merupakan sumber kemacetan dan kesemrawutan. Demikian dikemukakan Kepala Desa Caringin, Toyib Hadiwisastra, pekan lalu.

Ia mengatakan, sebagai solusi, Pemerintah Pusat melalui Trans Jabar Tol bersama Pemkab Bogor tengah merancang pembangunan jalan tol Bocimi. Namun, proyek itu pun menghadapi beberapa kendala, seperti, sebagian tanah warga belum dapat dibebaskan, karena belum tercapai kesepakatan harga, dan masalah lainnya.

Kepala Desa Ciadeg, Kecamatan Cigombong, H.M. Sapri menanggapi program tersebut mengharapkan segera terealisasi pematokan tanah warga, karena menurut rencana dalam waktu dekat ini tim akan melakukan pengukuran di lapangan.

“Masyarakat sudah menunggu tentang standar harga tanah, bangunan, dan tanaman di sekitanya. Kami meminta harga sesuai standar yang ditetapkan sebelumnya, yakni Rp 165 ribu s/d Rp 450 ribu per meter. Sedangkan untuk bangunan Rp 1 juta s/d Rp 1,7 juta per meter,” kata Sapri mengutip aspirasi warganya yang terkena pembebasan jalan tol.

Kepala Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Sumantri, Bc. Hk, mengatakan, salah satu solusi untuk meminimalisasi kemacetan serta kesemrawutan di Jalan Bocimi adalah truk tronton pengangkut barang dan pasir, serta mobil tangki air beroperasi pada malam hari. Dikemukakan, yang tak kalah pentingnya, merehabilitasi jalan serta drainase yang saat ini rusak, sehingga dapat mengurangi kemacetan serta kesemrawutan arus lalu lintas. (tim)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS