Site icon TubasMedia.com

172 Juta Jiwa Penduduk Hidup dalam Garis Kemiskinan, Rocky Gerung; Wapres Perlu Dipertimbangkan Jika tidak Mampu Menavigasi Tantangan Zaman.

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Data Bank Dunia kembali mengguncang lanskap politik dan ekonomi nasional. Laporan terbaru menyebut bahwa 60,3% penduduk Indonesia, sekitar 172 juta jiwa hidup dalam garis kemiskinan.

Angka ini mencolok tajam dibanding klaim Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan hanya sekitar 20 juta orang tergolong miskin.

Perbedaan metodologi mendasar memperlihatkan jurang besar antara narasi resmi pemerintah dan realitas keseharian rakyat.

“Jika 20 ribu rupiah per hari dijadikan patokan bahwa seseorang tidak miskin, maka kemiskinan telah direduksi menjadi statistik semu,” ujar Rocky Gerung, filsuf politik, dalam perbincangan dengan jurnalis Hersubeno Arif, dilansir Kanal YouTube Official pada Rabu (30/4).

Rocky menuding bahwa selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, kemiskinan justru disembunyikan dengan manipulasi indikator.

Rocky menilai standar BPS tidak lagi relevan, apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah.

“Dengan hanya belanja Rp20.000 per hari, pemerintah menganggap rakyat layak hidup. Tapi realitas menunjukkan, angka itu tak cukup untuk membeli gizi dasar,” tambahnya.

Kegagalan Struktural

Presiden terpilih Prabowo Subianto kini menghadapi warisan ekonomi yang sarat kegagalan struktural. Dalam enam bulan masa transisi kekuasaan, Rocky menyebut Prabowo tidak bisa disalahkan atas kemerosotan ini, tapi ia juga tak bisa mengabaikan fakta bahwa basis kebijakan ekonomi Jokowi dianggap menyengsarakan rakyat.

“Selama dua dekade terakhir, kemiskinan tidak berkurang. Justru meningkat. Ini menunjukkan bahwa strategi ekonomi Jokowi gagal. Tidak ada trickle-down effect. Yang kaya tetap kaya, yang miskin makin banyak,” jelas Rocky.

Data kemiskinan itu, menurutnya, bukan sekadar angka, melainkan indikator keresahan sosial yang bisa meletup kapan saja.

“PHK di mana-mana, pariwisata mati, konsumsi daerah anjlok, UMKM lesu. Semua ini efek dari kebijakan pusat yang tak berpihak pada rakyat,” katanya.

Dalam bagian lain komentarnya, Rocky menyoroti pidato Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden terpilih, yang menyampaikan optimisme soal bonus demografi.

Publik Marah

“Ketika 172 juta orang miskin, lalu Gibran bicara giliran kita… publik tentu marah. Anak muda lain bertanya, ‘giliran siapa?'” ucap Rocky tajam.

Ia menilai, pidato semacam itu tak punya dasar akademis maupun strategi yang konkret untuk menyelamatkan mayoritas rakyat dari jebakan kemiskinan. Harapan tanpa arah kebijakan hanya akan memperuncing ketidakpuasan sosial.

“Jika APBN bolong, lalu tiga program populis digeber tanpa perhitungan, itu berbahaya. Harus ada prioritas. Tidak bisa semua dibiayai serentak,” tegas Rocky. Ia menambahkan bahwa upaya populis mesti menyentuh rakyat secara nyata, bukan hanya simbolik.

Rocky juga menilai, kondisi global yang memburuk, ditambah ketegangan politik domestik akibat kemiskinan yang sistemik, akan memaksa Prabowo melakukan reshuffle kabinet. Bahkan, menurutnya, Wakil Presiden pun perlu dipertimbangkan jika tidak mampu menavigasi tantangan zaman.

“Ini bukan soal figur. Ini soal kompetensi. Kalau wapres tidak bisa berpikir strategis, maka krisis sosial akan sulit diredam,” tukasnya.

Fakta kemiskinan 172 juta jiwa berpotensi menggoyang legitimasi pemerintahan Jokowi di mata publik. Rocky menuding bahwa data kemiskinan itu justru dipelihara untuk menjadi alat elektoral.

“Orang miskin dijadikan sandera. Diguyur BLT, lalu diukur loyalitasnya lewat survei elektabilitas,” katanya.

“Kalau tuntutan lengser Gibran muncul, itu bukan semata urusan pribadi. Tapi karena publik anggap bapaknya ikut harus bertanggung jawab,” tutup Rocky.(sabar)

Exit mobile version