Site icon TubasMedia.com

100% Garam Industri Masih Diimpor, Ada Apa ?

Loading

Alex SW Retraubun menunjukkan garam yang dihasilkan dengan teknologi membran

MEMPERLIHATKAN – Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun disaksikan Kepala Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Dr. Sudarto dan Kasubdit Industri Kimia Lainnya, Ditjen BIM, Wahyudi, menunjukkan garam yang dihasilkan dengan teknologi membran pada Diskusi Pimpinan Kementerian Perindustrian dengan Media Massa di Jakarta, 14 Oktober 2014. (tubasmedia.com/sabar hutasoit)

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kementerian Perindustrian tidak menghargai dan tidak mempedulikan temuan teknologi salah seorang pegawai Kemenperin soal pengolahan garam. Akibatnya, Indonesia hingga kini masih terus mengimpor garam. Kebutuhan garam industri 100 persen masih impor karena memerlukan kadar tertentu.

Demikian penegasan Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun pada pertemuan dengan wartawan disaksikan Kepala Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri Dr Sudarto dan Kasubdit Industri Kimia Lainnya, Ditejn BIM, Wahyudi saat membahas industri garam dengan teknologi membran pada Diskusi Pimpinan Kementerian Perindustrian dengan Media Massa di Jakarta, 14 Oktober 2014.

“Saudara Sudarto ini telah menemukan suatu teknologi yang cukup baik untuk membangun industri garam yang dituangkan dalam disertasinya saat meraih gelar doktor dan saya salah seorang pengujinya. Tapi lucunya di Kementerian Perindustrian temuan tekonologi yang amat canggih itu tidak dipedulikan,” tegasnya.

Sudarto menemukan teknologi pengolah garam yang disebut teknologi media isolator. Teknologi ini mampu meningkatkan kapasitas produksi, memperbaiki mutu, menghemat waktu dan banyak lagi hal-hal positif yang bisa dirasakan bangsa ini jika menggunakan teknologi temuan Sudarto.
Padahal lanjut Alex, Indonesia mengalami krisis di segala bidang termasuk kebutuhan garam yang pada kenyataannya masih diimpor.

Kalau Indonesia serius mau jadi negara swasembada garam, teknologi media isolator harus dan wajib digunakan dan seharusnya, teknologi tersebut menjadi kebijakan secara nasional. “Kalau tidak, saya katakan, Indonesia akan tetap menjadi pengimpor garam dan garam produksi Indonesia mutunya selalu rendah. Maka itu, teknologi tersebut harus diaplikasikan agar menghasilkan inovasi yang ditemukan ada keunggulannya,” tambahnya.

“Akan tetapi, seperti saya katakan di depan tadi,” kata Alex, “Kemenperin tidak menghargai temuan anak buahnya padahal temuan tersebut adalah sebuah teknologi untuk memastikan ketidakpastian.”

Menurut Alex, Indonesia memiliki 20.000 ha lahan pertanian garam yang dikelola oleh masyarakat. Satu orang petani paling tidak memiliki 1 ha atau ada yang hanya setengah ha yang hasil keseluruhannya hanya 70 ton per tahun, karena masih dikelola secara manual. Padahal jika teknologi temuan Sudarto ini dipakai, bobot garam akan bertambah, mutunya apa lagi sehingga Indonedia tidak perlu lagi mengimpor garam seperti saat ini 100 persen garam industri masih harus diimpor.

Ditambahkan, di Indonesia ada lahan potensial untuk dijadikan lahan pertanian garam yang belum dibuka dan letaknya di NTT. Keunggulan NTT adalah curah hujannya jauh lebih kecil dibanding Jawa. NTT bisa delapan bulan tidak hujan sehingga sangat menguntungkan bagi petani garam apalagi digabungkan dengan teknologi temuan Sudarto yang akan menjadi energy positif.

Jangan main-main, lanjut Wamen bahwa garam adalah komoditas strategis karena banyak digunakan untuk kebutuhan manusia baik sebagai bahan garam konsumsi beryodium mau pun untuk berbagai industri seperti industri kimia, aneka pangan, perminyakan mau pun farmasi. Mutu garam yang dibutuhkan untuk setiap produk tersebut sangat bervariasi sesuai dengan peruntukannya.

Khusus untuk kebutuhan industri, sepenuhnya masih diimpor karena spesifikasi yang diperlukan belum dapat diproduksi di dalam negeri karena memerlukan spesifikasi khusus. Dia beri contoh, industri kimia (soda kostik) kadar NaCI minimal 96 persen, aneka pangan 97% dan kadar kalsium (Ca) maksimum 0,06 %, kadar magnesium (Mg) maksimum 0,06 % dan untuk garam konsumsi beryodium (garam meja), kadar NaCI yang diperlukan minimal 94 %.

Mengomentari kadar-kadar tersebut, Wamen menyatakan dengan tegas kalau hal itu sudah akan terjawab jika teknologi temuan DR Sudarto sudah dijadikan menjadi kebijakan nasional. “Kami harapkan kepada pemerintahan yang baru, gunakanlah teknologi media isolator. Indonesia, khususnya mengenai garam akan menjadi terbesar di dunia. Petani garamnya makmur dan devisa kita aman,” katanya. (sabar)

Exit mobile version