“Pedang” Keadilan Kajari Jakut Tebas Koruptor

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

PEDANG keadilan terus dihunuskan ke arah para pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dipastikan tidak akan tumpul. Pelan tapi pasti adalah sebagai langkah untuk tidak terpeleset ketika Kajari Jakut Adil Wahyu Wijaya harus menebas para pengerat keuangan negara bernama koruptor.

“Kami tidak akan melakukan disparitas dalam penanganan kasus korupsi. Pelaku lainnya yang sudah dijatuhi hukuman di PN Jakut juga kami jebloskan. Jadi tersangka yang satu ini pun kita perlakukan sama dan tidak ada perlakuan khusus,” tandas Adil, menanggapi Tubas terkait perintah penahanan terhadap Abdul Rahman Andit (ARA). Mantan Bupati Kabupaten Kepulauan Seribu ini sejak Senin lalu (3/10) dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang Jaktim.

ARA dikerangkeng dalam statusnya sebagai tersangka korupsi Proyek Pelaksanaan Perpanjangan Landasan Pacu dan Area Apron pada Pengembangan Fasilitas Perhubungan Pulau Panjang Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun Anggaran 2006 silam.

Menjawab pertanyaan tubasmedia.com berapa kerugian negara akibat ulah tersangka, menurut Adil sesuai mengatakan sebesar Rp 1,2 miliar. Tersangka yang juga mantan Sekda Kabupaten Kepulauan Seribu itu ditahan demi memperlancar proses persidangannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Saat mendapat panggilan dari Kejari Jakut, tersangka ARA yang juga didampingi penasihat hukumnya Darwis Lubay, SH. tidak menduga kliennya hari itu juga akan diinapkan di hotel prodeo LP. Cipinang. Bahkan ARA langsung kaget begitu mengetahui orang nomor satu di Kejari Jakut itu telah menerbitkan surat perintah penahanannya. Namun, ARA masih berusaha tampak tenang walau sempat emosional saat digiring ke mobil tahanan yang akan mengusungnya ke LP Cipinang Jaktim.

Adapun langkah berikutnya yang akan dilakukan pihak kejaksaan, menurut Adil, fokus perhatian tetap pada kasus ini hingga ke Pengadilan Tipikor. “Kami fokus ke fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Artinya kalau dalam persidangan ada fakta baru yang menunjukkan adanya keterlibatan pelaku lain di samping yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan baru kita melakukan langkah-langkah hukum,” jelas Adil didampingi Kasi Pidsus Hilaman Azasi dan Jaksa Pradhana.

Pada persidangan kasus Yulianto Basuki selaku Kabag Administrasi Pemkab Kepulauan Seribu, Hasudungan Sinaga selaku Direktur PT. Saubota Contractor Internasional (Intercol) dan Ricardio Noor selaku Konsultan Pelaksana di PN Jakut terungkap adanya peran mantan Bupati Kepulauan Seribu lainnya yakni Djoko Ramadhan (DR). DR yang juga mantan Wali Kota Jakbar ini sempat dipanggil untuk dimintai keterangan oleh penyidik Kejari Jakut. Namun sampai saat ini belum bisa dipastikan apakah saksi ini benar-benar tidak terlibat dalam kasus tersebut.

Modus kejahatan tersangka ini ditengarai bersekongkol dengan pemborong. Sebab landasan pacu ini oleh pemborong baru menyelesaikan pekerjaan fisik sebesar 12 persen namun diklaim sudah menyelesaikan pekerjaannya 20 persen lebih dan disetujui pula oleh pejabat Pemkab Kepulauan Seribu.

Sejumlah kasus korupsi lainnya juga telah dituntaskan Kejari Jakut. Kasus korupsi di PT. Dok Koja Bahari (DKB). terjadi pada proyek pembangunan dok terapung dan pengadaan pelat baja. “Kedua proyek disamping tidak dilelang sesuai ketentuan juga dibuatkan dua kontrak. Padahal sesungguhnya bisa satu kontrak,” ujar Adil.

Perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) ini sesungguhnya mempunyai anggaran untuk pelaksanaan kedua proyek. Namun, tetap saja yang ditunjuk PT. Intan Segara Karsa (ISK) sebagai pelaksana. Akibatnya PT. DKB tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar dana proyek yang dilaksanakan PT.ISK. Namun bagi PT. ISK keterlambatan pembayaran tidak masalah. Kontraktor tersebut justru diuntungkan dengan keterlambatan itu. “Soalnya dalam perjanjian antara PT. DKB dengan PT. ISK disepakati oleh PT. DKB harus membayar denda setiap harinya jika terjadi keterlambatan,” ujar Adil.

Akumulasi dari denda itu membengkak sedemikian rupa sampai totalnya Rp 3 miliar. Namun yang dibayarkan PT.DKB baru Rp 500 juta. “Diduga kontrak ini termasuk bagian dari strategi pihak PT. DKB dan PT. ISK untuk menggerogoiti keuangan negsara,” jel;as Adil. Kasus korupsi kedua yang juga sedang ditingkatkan ke penyidikan terkait pembangunan kantor Balai Karantina Tanjung Priok pada tahun 2007.

Di samping tidak dilelang pelaksanaan pembangunan gedung yang menelan dana Rp 9 miliar itu diduga fiktif. Konsultannya tidak terlacak demikian pula kontraktornya tidak diketemukan. Bisa jadi kontraktor dan konsultannya itu fiktif ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS