Membangun Watak Bangsa

Loading

Oleh: Launa

Ilustrasi

Ilustrasi

MICHEL Foucault, pelopor analisis diskursif, pernah membedakan peran sejarawan dan arkeolog. Sejarawan bekerja untuk mengubah monumen menjadi dokumen, sedangkan arkeolog mengubah dokumen menjadi monumen.

Jika tugas sejarawan adalah melakukan memorizing monumen-monumen masa lalu dan mentransformasikannya menjadi dokumen-dokumen, membuatnya bicara atau menafsirkan yang diam dan tertinggal di masa lalu itu. Tugas arkeolog adalah menyusun kembali dokumen otentik masa lalu, mengelompokkannya ke dalam rangkaian yang bermakna, dan mentransformasikannya menjadi kesatuan monumental yang menempatkan kesadaran manusia sebagai subjek orisinal sejarah.

Dalam perspektif Foucaultian, Soekarno adalah arkeolog, yang merakit gagasan self-help, sebuah monumen pemikiran yang melandasi kemandirian bangsa. Gagasan Soekarno ini kemudian dikenal sebagai ‘pembangunan watak bangsa’ (nation and character building). Konsep watak bangsa kembali dikumandangkan Soekarno di era 1960-an dengan istilah ‘berdiri di atas kaki sendiri’ (berdikari). Kemandirian, watak bangsa, dan berdikari kurang lebih memiliki makna ontologis yang sama, yakni kehendak besar Soekarno untuk mentransformasi ketiga gagasan itu menjadi perilaku kolektif bangsa.

Dalam membangun watak bangsa, Bung Karno mengadopsi konsep ‘kemandirian’ dan ‘karakter bangsa’. Mahatma Gandhi, bapak humanis India merakit sebuah genre baru dalam mewujudkan kemerdekaan India: perjuangan tanpa kekarasan. Dengan konsep cinta produk sendiri, dus memboikot barang Inggris, rakyat India melalui gerakan Ahimsa telah membuat kolonialisme Inggris gulung tikar. Gerakan Swadesi dan Ahimsa yang digerakkan Gandhi telah menginspirasi Soekarno, bahwa kemandirian dan watak bangsa adalah fundamen moral yang utama bagi eksistensi sebuah bangsa.

Kemandirian dan kerja keras adalah fondasi martabat bangsa, yang bisa menumbuhkan kebanggaan dan rasa hormat bangsa-bangsa lain. Dalam kumpulan pidatonya, “Di bawah Bendera Revolusi” (1963), karakter Indonesia bagi Soekarno adalah karakter yang tidak ngak ngik ngok, yang berjati diri, yang tidak terombang-ambing oleh kultur hegemonik dunia, yang kuat dan berwibawa di hadapan bangsa-bangsa lainnya.

Per definisi, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtue) negara yang digunakan sebagai landasan bagi cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak bagi sebuah bangsa. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti religius, jujur, berani bertindak benar, dapat dipercaya, disiplin, kerja keras, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, cinta damai, peduli lingkungan, dan punya tanggung jawab sosial.

Sayangnya, watak bangsa sebagai gagasan cerdas, secara sosio-kultural tak memiliki fondasi dan konstruksi yang kokoh di negeri ini. Problem kultur negara pascakolonial yang berwatak feodal, xenophobia, gandrung terhadap budaya luar, senang mengadopsi gagasan-gagasan besar yang tak berelasi dengan kultur dan natur bangsa serta gampang melupakan warisan besar para pendiri bangsa, adalah sederet perilaku umumnya orang Indonesia yang menjadi penghambat terwujudnya mimpi Soekarno.

Pembangunan karakter bangsa adalah fundamen yang meletakkan arah dan tujuan dasar pembangunan nasional sebagai perwujudan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks Pembangunan Semesta Berencana, Bung Karno berkali-kali menegaskan, watak bangsa adalah investasi penting dalam pembangunan Indonesia. Watak, karakter atau mental bangsa yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah aktualisasi jiwa ‘Pancasila’. ***

CATEGORIES
TAGS