Kedelai Naik, Perajin Tempe Gulung Tikar

Loading

Laporan : Hidayat

Ilustrasi

JAKARTA, (Tubas) – Terus meroketnya harga kedelai impor mengakibatkan daya beli perajin tahu tempe menjadi sangat rendah. Akibatnya, dari 115 ribu perajin tempe di Indonesia, sebanyak 5 ribu perajin mengalami gulung tikar. Perajin berharap harga kedelai yang kini melonjak pada level Rp 6.800 per kilogram, bisa diturunkan demi kelangsungan usaha mereka.

Ketua Gabungan Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Gakopttindo), Aep Syarifuddin, mengatakan, 5 ribu lebih perajin tahu tempe yang mengalami gulung tikar adalah perajin kecil dengan modal kecil yang masing-masing mempekerjakan dua sampai tiga orang karyawan. “Kami minta Presiden bisa memahami. Perajin tahu tempe bukan mencari kekayaan, tapi penghasilannya cuma cukup untuk bisa makan,” ungkap Aep, baru-baru ini.

Menurutnya, naiknya harga kedelai karena permainan importir dan tidak melalui Badan Urusan Logistik (Bulog). Akibatnya, sejak November sampai Desember 2010 harga kedelai terus merangkak naik, dari Rp 3.800 per kilogram menjadi Rp 4.500 per kilogram. Kondisi itu diperburuk dengan adanya pemberlakukan pajak bea masuk kedelai sejak awal Desember 2010 sebesar lima persen, sehingga harga kedelai melonjak lagi pada level Rp 6.800 per kilogram.

Untuk itu, perajin berharap pengadaan kacang kedelai kembali ditangani Bulog. Sebab, jika tetap dikuasai para importir, harga kedelai akan naik terus dan imbasnya dapat mematikan usaha para perajin.

Menurutnya, kebutuhan kedelai untuk 115 ribu perajin di Indonesia setiap tahun mencapai 1,2 juta ton sampai 1,5 juta ton. Artinya, setiap tahun mencapai satu setengah miliar kilogram. Jika kenaikan mencapai Rp 2.000 per kilogram berarti Rp 3 triliun per tahun yang seharusnya menjadi pendapatan perajin tahu tempe setiap tahun menjadi berkurang.

Ketua Primer Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Primkopti) DKI Jakarta, Suharto, mengaku tidak hanya kedelai yang menjadi penyebab kenaikan harga tempe dan tahu di pasaran. Bahan-bahan lain seperti plastik, ragi, kayu bakar dan lain sebagainya, menjadi beberapa faktor tambahan meroketnya harga makanan berbahan dasar kedelai itu.

Akibat kenaikan tersebut, kata Suharto, para perajin tempe terpaksa harus mengurangi produksinya. Karena kenaikan harga kedelai tidak bisa diikuti dengan kenaikan harga jual tempe yang tinggi. Selain itu, daya beli masyarakat juga tidak tinggi, karena tahu dan tempe lebih banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah.

Ia berharap, ada campur tangan pemerintah agar harga kedelai bisa stabil kembali dan para perajin tempe tidak kehilangan pekerjaan. Menurutnya, jika harga kedelai terus merangkak naik, produksi tahu tempe terancam terhenti. Akibat melolonjaknya harga kedelai, harga tempe dan tahu di sejumah pasar di Jakarta Pusat mengalami kenaikan hingga Rp 5.000 dari harga sebelumnya Rp 3.000. Tahu dan tempe yang dijajakan pedagang pun jumlahnya tak banyak seperti biasanya.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS